Senin, September 17, 2018

Selingan

Saat aku ke Jawa Timur di rumah saudara, menyempatkan ngobrol dengan bude-ku, bercerita tentang masa lalu. Beliau antusias menceritakan masa mudanya dan kenangan masa lalunya.

Aku menanyakan tentang mbah putri (eyang putri/nenek) ibu dari ibuku. Tanyaku pada bude, mbah putri dulu itu putih ya kulitnya? Budeku bilang, iya.. mbah putri itu ada keturunan Chinese-nya., gak tau apanya yang Chinese. Mungkin sesepuhnya dulu. Makanya kulitnya putih, kata budeku. Kalo mbah kakung (kakek) kulitnya kuning langsat. 


Btw, pernah juga aku ke toko tas, kejadiannya sekitar 3 tahun lalu. Saat aku pilih-pilih tas dan meminta masukan pada seorang pramuniaga, aku tanya ke mbaknya itu (pramuniaga), mbak mana yang bagus nih.., yang ini atau yang satunya lagi sambil aku menunjukkan dua buah tas dengan warna berbeda. Lalu mbak pramuniaganya bilang, kalo ibu sih warna apa saja cocok karena kulit ibu putih. Bukannya ibu Chinese ya? Tanya pramuniaga itu. Haahh..? Bukan mbak, saya asli wong Jowo, kataku sambil tertawa. Ada juga pedagang makanan kaki lima, sering aku beli makanan di situ, saat aku berjilbab mbaknya bilang ke aku, lho.. saya kira mbak orang Chinese? Tanyanya saat dia tahu aku berjilbab. Memang kenapa mbak, tanyaku balik. Kirain mbaknya Chinese, kata si penjual itu. 

Pun dulu jamannya aku masih muda (jiaaahhh masih muda! Hehee..) temanku sering ngeledekin aku encik-encik, kata mereka. Hahaha… Padahal kan aku gak sipit, wajahku juga kalo diperhatikan gak oriental. Tapi kebanyakan orang yang baru kenal aku sangkaannya aku bukan orang Jawa. Kalo gak dibilang orang Sumatera, orang Sunda, atau ada Chinese-nya ya? Mereka melihat karena kulitku putih yang identik seperti orang Chinese. Pantas aja dulu yang naksir aku orang Chinese, mungkin dikira aku ada turunan Chinese-nya ya? Sampai-sampai pernah nih ada cowok Chinese datang ke rumah beberapa kali. Sepertinya dia sedang pedekate sama aku karena aku melihat gelagatnya seperti layaknya cowok naksir cewek. Aku bilang sama dia kalau aku ini orang Jawa. Aku kuatir jangan-jangan dia salah kira, nanti dikiranya aku sama seperti dia, Chinese. Karena biasanya orang Chinese pasangannya sama orang Chinese seperti kebanyakan. Begitu ya? Mohon dikoreksi dan dimaafkan kalo aku salah.

Terus dia bilang, memang gak boleh ya kalo aku suka sama kamu? Kata dia begitu waktu itu. Ya boleh-boleh aja, kataku. Tapi apa kamu gak masalah nantinya? (maaf omongan kami waktu itu bukan memojokkan masalah ras satu dan yang lalinnya. Sama sekali tidak! Ini cuma sebuah "penekanan" saja, agar temanku itu tidak salah naksir orang). Enggak masalah, kata dia lagi. Tapi entah kenapa waktu itu aku gak berkeinginan pacaran sama dia. Aku lebih suka berteman saja sama dia meskipun dia tidak pernah mempermasalahkan aku ini siapa. Bagi dia suka/cinta tidak bisa dibatasi oleh apapun. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun pada akhirnya antara aku dan dia tidak terjadi hubungan serius, kami tidak pacaran. Kami berteman baik hingga dia balik ke kampung halamannya, Bogor.

Ada lagi teman Chinese lainnya yang ngajak nikah. Seorang duda, ngebet banget  mau nikahin aku. Aku bilang ke dia, aku ini Islam. Apa gak masalah buat kamu dan keluargamu? Aku gak bisa kalo aku ninggalin agamaku. Kemudian dia bilang ke aku, oke kalo gitu aku (maksudnya dia) yang masuk Islam. Aku bilang sama dia, gak gampang lho orang masuk Islam kalo gak bener-bener niat dan mau ngejalaninya. Jangan cuma karena aku, kamu mau masuk Islam, terus sesudah itu kamu gak menjalankan ibadah-ibadahnya.. dan bla-bla. Kataku panjang lebar ke dia. Dia bilang gak masalah. Kalo memang itu baik buatku (maksudnya buat dia) nanti kenapa tidak? Singkat cerita dengan banyak pertimbangan akhirnya aku yang mundur. Dia sempat marah sama aku, bilang macam-macam. Aku ngerti perasaannya, bahkan menurut cerita temannya yang aku kenal, dia sudah bercita-cita mau buatkan usaha untukku andai aku berhenti dari kerjaan dan menikah dengannya.  Tapi apa boleh buat, aku merasa ada yang kurang “klik” dengannya. Meski cara pandangnya tentang kehidupan ini bagus, tapi ada hal yang paling mendasar yang sulit ku dispensasi. 
Setelah marahnya redah aku jelaskan semua ke dia. Dia mengerti dan menerima alasanku. Kami pun tetap baik-baik saja hingga hari ini dengan kehidupan kami masing-masing.

Satu orang yang lain cuma selintas saja karena kejar target menikah. Dianya menentukan waktu harus dapat jawaban dariku, sedangkan aku belum ditanyain mau atau gak? Waktu yang telah ditentukan datang aku tidak memberi jawaban apa-apa karena ada hal yang aku kurang respek darinya. Berlalu begitu saja...

Dalam perjalanan hidupku dari usia remaja hingga dewasa ada 4 pria turunan Chinese yang pernah naksir/dekat denganku. Semuanya tidak berujung ke pelaminan (setidaknya hingga saat aku menulis cerita ini. Gak tau kelak kemudian hari). Sejujurnya hanya satu dari keempat orang itu yang mengena di hati, cuma (lagi-lagi) kayaknya susah diwujudkan. The one and only sebut saja Gentong. Sssttt...!!! Hahaha…
Begitulah sekilas cerita selingan tempo dulu tentang aku dan teman-teman Chinese-ku.

Mungkin kalo dirunut dari atas nenek moyang aku ini ada keturunan ras Mongoloid-nya kali ya? Mungkiiin.., mungkin saja. Hehee…