Selasa, Maret 10, 2009

Ney....??

Lagi..., Jogja menyuguhkan sebuah kisah baru buatku. Kenapa kubilang baru, karena belum lama ini aku bertemu (lagi) dengan teman lama yang sama sekali tidak pernah kuduga.

Di Jogja, di mana 22 tahun yang lalu untuk pertama kalinya aku menetap lama di sebuah kota. Karena sebelumnya aku selalu berpindah-pindah kota mengikuti orang tua pindah tugas. Dan di sinilah separuh kisah hidupku sebagai wanita dewasa di mulai. Kenapa kubilang seperti ini, karena di kota-kota sebelumnya aku masih kecil dan remaja. Kulewati semuanya layaknya anak-anak seusiaku saat itu.

Di Jogja, banyak hal yang tidak pernah kusangka terjadi di sini. Suka maupun duka pernah kualami di sini. Pasti lah, karena aku sebagai manusia biasa tidak kan pernah luput dari persoalan hidup. Klise yaa?

Awal Maret lalu seorang teman lamaku Ney, berkunjung ke Jogja. Pesawat Garuda yang ditumpangi Ney mendarat kira-kira jam 18.30 WIB. Ney memberitahuku bahwa dia sudah mendarat di Jogja. Segera Ney meluncur ke sebuah hotel bintang lima di kawasan pusat kota. Setelah melakukan check in dia pun on the way menjemputku.

Kemudian kami bertemu......,
Haah.... Ney? Nyaris kami tidak percaya akan pertemuan itu. Hampir tidak ada berubahan fisik darinya, tetap good looking dan selalu ramah terhadapku. Kami bertemu, ngobrol dan makan sambil bercerita masa lalu kami. Dari ceritanya, tidak kuduga bahwa dia sebetulnya sering ke Jogja karena urusan pekerjaan. Dia pun bilang, bahwasannya selama ini dia mencariku juga. Tapi waktu yang begitu panjang tidaklah cukup bagi kami untuk bisa saling menemukan. Waktu yang berbicara, akhirnya Tuhan pun mengabulkan harapan kami untuk bisa saling bertemu lagi.

Hari itu, kami menyusuri kota Jogja dengan taxi. Suasana Jogja sedikit sepi karena bukan waktu libur atapun malam minggu. Lengang jalanan kami rasakan terlebih Ney yang bekerja di Jakarta tentunya sangat menikmati kelancaran lalu lintas yang sulit ditemukan di Jakarta. Di sebuah tempat kami berhenti. Kami turun dan menikmati malam sambil makan & ngobrol. Ney..., Jogja tidak seperti ibukota. Jogja menyuguhkan kesederhanaan dan keramahan. Jadi jangan aneh dengan suasana Jogja yang tidak segemerlap Jakarta. (Ney juga pasti tau itu)
Apa yang ditawarkan Jogja? Bagiku, Jogja tak pernah mati. Renik-renik budayanya sangat beragam. Kerlip-kerlip modernitasnya juga sangat terbuka bagi semua orang. Mall, cafe, diskotik, club futsal ataupun restauran-restauran cepat saji ada di Jogja. Selain itu Jogja tidak meninggalkan tradisi budaya yang ada. Acara Sekaten, Gerebeg dan budaya-budaya lainnya masih dipertahankan.

Hari kedua kami pun bertemu lagi. Seperti biasa kami memakai jasa taxi dalam menempuh perjalanan kami selama di Jogja. Ney menawarkan makan malam ke aku. Dia menawarkan beberapa alternatif tempat makan ke aku; Hartz Chicken, Mc D atau Padang. Akhirnya kita memilih rumah makan Padang. Kita mampir di rumah makan Padang yang kita lewati. Bukannya apa-apa, mau makan ala hotel lagi seperti hari pertama, bosan. Jadinya kami makan ala Padang saja, cepat dan enak juga koq. Ahh.... untuk urusan makan aku memang ga pilih-pilih. Yang penting halal dan aku doyan. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan. Sopir taxi yang ramah membawa kami melintasi jalan protokol yang ada. Sang sopir taxi sempat bercerita tentang gempa yang terjadi tahun 2006 lalu. Dia menceritakan pengalamannya ketika gempa datang. Dia memikirkan keluarganya yang belum ditengok karena sebelum gempa terjadi dia sedang menjalankan tugasnya. Tapi syukurlah menurut pengakuannya, keluarganya selamat semua. Sampai ditujuan kami turun dan Ney membayar ongkos taxi. Ney memberikan semua uang tanpa harus dikembalikan sisanya. Kata Ney waktu itu, sudah pak ambil saja kembaliannya untuk beli nasi Padang. Hemm...., Ney ternyata punya hati mulia juga terhadap sesama ya. Padahal kembalian uang itu cukup lumayan jumlahnya.

Tadinya aku pingin ngajak Ney jalan-jalan, mau kuajak makan di angkringan. Menikmati kesederhanaan ala warung koboi khas Jogja. Ada kopi, teh nasgitel, gorengan, sego kucing, wedang jahe, dll. Tapi aku sangsi dengan Ney, apa dia terbiasa dengan hal-hal seperti itu? Jangan-jangan setelah makan di situ perutnya mules karena ga terbiasa? Angkringan memang menawarkan itu, selain tempat yang sederhana dan suasana yang kekeluargaan angkringan cocok sekali buat nongkrong sambil ngobrol santai. Banyak mahasiswa/wi, seniman, orang kantoran, tukang becak, sopir taxi, dll nongkrong di situ. Mau bicara soal kuliahan, politik, ekonomi ataupun sekedar bicara soal pribadi, silahkan....

Kembali ke cerita awal.

Ney, tetaplah Ney. Orang yang senyam-senyum selalu. Ga heran saat ini dia sudah mempunyai pekerjaan dan kedudukan yang baik di salah satu perusahaan swasta besar. Tetap dengan gayanya yang ramah dan selalu care terhadap orang, dia bisa melampaui segala rintangan yang ada semasa dia masih menjadi karyawan biasa. Sekarang, karena ketekunannya dalam bekerja dia sering dipercaya menghandle cabang-cabang yang ada. Bepergian kemana-mana dari Sabang sampai Merauke pernah dia singgahi. Luar negeri pun tak luput dari jamahannya dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Ney, kamu hebat. Kamu tidak pernah melupakan aku sebagai kawan lama. Dulu kita ngobrol selalu diwarnai gelak tawa dan canda, khas anak remaja seusia kita. Kini kita sama-sama telah dewasa, tawa dan sunggingan senyummu tidak pernah pudar dari wajah dan bibirmu.

Dua hari berlalu, masuk hari ketiga Ney melanjutkan tugas kesebuah kota yang masih di Jawa Tengah. Tak lama setelah itu, dia memberi kabar padaku lewat sms bahwa dia harus buru-buru kembali ke Jakarta karena minggu depan harus ke Manila.

Ney, semoga keramahanmu tetap ada untukku yaa.....



Jumat, Maret 06, 2009

Tia : Suamiku Bertingkah

Dia wanita enerjik teman main sewaktu aku masih kuliah dulu tiba-tiba nongol di rumah. Tumben kubilang padanya. Setelah sekian lama ga pernah nongol sekarang sudah ada dihadapanku sore itu. Aku belum ganti pakaian kerjaku saat dia datang ke rumah.
“Apakabarnya Lel”, katanya. “Baik”, jawabku.
“Kemana aja selama ini ga ada kabarnya. Masih bolak balik Jogja - Jakarta kan?” Tanyaku kemudian sambil mempersilakan dia duduk. Dengan santai dia duduk sambil melepas penat di wajah lalu dia menjawab, “aku ga kemana-mana, ada di sini aja. Paling-paling bolak balik seperti ini dan keluar kota untuk urusan kerjaan”. Anak-anak juga ada di Jakarta. Aku sudah mencoba untuk berhenti dari pekerjaanku tapi Denny tidak mengijinkan. Sayang katanya kalo aku harus melepas pekerjaan ini. Aku juga sudah mencoba mengajukan ke perusahaan agar aku ditempatkan di Jakarta saja, di officenya. Pihak perusahaan sudah menyetujui tapi sedang dicarikan tempat buatku dan menunggu penggantiku untuk ngurusi pekerjaanku sekarang.

Setelah ngobrol kira-kira 15 menit aku masuk untuk membuatkan teh manis buat Tia sekalian aku ganti baju dengan baju rumahan. Makanan kecil yang memang sudah ada di meja tamu kupersilakan untuk dimakan sambil menunggu teh yang sedang kubuat.
“Lel, kenapa kamu masih aja seperti dulu? Ga ada niatkah kamu merubah semua ini?” Apa betah kamu dengan semua ini?” Cerocos Tia seolah-olah dia ingin mengorek hal pribadiku. Kukatakan ke dia, “ ga masalah dengan kehidupanku ini Tia. Aku merasa enjoy saja. Yang penting niat kita hidup baik, Insya Allah Tuhan pasti memberi yang terbaik buat kita. Yaahh…. Kadang-kadang sih aku merasa boring juga dengan keseharianku yang monoton ini. Tapi apa mau dikata, aku memang seperti ini.
Memangnya ada apa tumben-tumbennya kamu nanya begitu ke aku? Kataku balik bertanya ke dia. “Ahh… ga ada Lel. Enak aja lihat kamu, sepertinya tidak ada masalah dalam hidupmu.” Celoteh Tia sambil makan snack yang ada. “Ga mungkin aku ga punya masalah Tia. Kan setiap yang hidup pasti punya masalah walaupun masalahnya kecil” kataku kemudian ke dia.
“Hmmm…. Lel, aku mau cerai dari suamiku. Semakin hari dia semakin ga karuan tingkah lakunya. Aku sudah coba untuk bertahan dengan segala kesabaran dan pengertianku terhadapnya, tapi dia ga mau tahu pengorbananku selama ini. Aku selalu dipojokan dengan segala tuduhan-tuduhan yang ga masuk akal yang jelas-jelas tidak aku lakukan. Sudah lama aku bertahan hidup dalam kemunafikannya. Sudah 3 tahun Lel semua ini kupendam! Tapi apa yang kudapat? Suamiku semakin menjadi-jadi kegilaannya. Sering pulang pagi dan setiap kutanya (saat aku di Jakarta) dia selalu menjawab, bukan urusanku. Kebiasaan buruknya yang suka main tangan terhadapku, membuatku muak untuk meneruskan hidup bersamanya! Uang yang didapat sering digunakan untuk berfoya-foya. Klise ceritaku ya Lel? Tapi itulah yang terjadi sekarang dalam kehidupan rumah tanggaku.
Aku menarik napas panjang sambil menatap wajah Tia yang kuyu. Terlihat kelelahan di matanya. Mata yang sembab, mata yang sering menangis karena persoalan hidupnya.
“Tia, bersabarlah…. Tuhan tidak akan mencoba umatNya diluar batas kemampuannya. Kamu pasti bisa menyelesaikan semua ini.” Kataku memberi semangat padanya.
Kemudian kami masuk ke ruang tengah sambil menonton tv. Kebetulan acara berita sore di salah satu tv swasta. Berita yang sedang marak tentang Ponari si dukun cilik dari Jombang.
Lalu Tia mulai bercerita lagi.
“Ahh…. Andai saja aku dulu tidak ceroboh memilih dia sebagai suamiku, mungkin aku tidak akan mengalami masalah ini. Arya teman kita dulu sebetulnya dia mau juga sama aku Lel. Tapi aku bodoh lebih memilih Denny yang kupikir bisa membahagiakanku. Denny dulu begitu menggebu-gebu mengejarku. Selain itu, Denny waktu itu sudah bekerja sebagai wakil pimpinan di perusahaan ternama di Jakarta. Sedangkan Arya waktu itu baru menjadi pegawai kontrakan di sebuah bank swasta. Tapi sekarang keadaan berubah, Arya sudah menjadi direktur bank dengan reputasi baik. Seorang suami dan bapak yang baik dan bertanggung jawab, sedangkan Denny walaupun sudah menjadi seorang pimpinan tapi diluar itu sepak terjangnya sangat menyakitkan bagiku dan anak-anak.” Cerita Tia sedikit meninggi.

Gema adzan maghrib berkumandang, sejenak kami menghentikan obrolan. Kuajak Tia sholat maghrib berjamaah. Setelah selesai sholat kami melanjutkan obrolan.
Kenapa sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga? Adilkah ini bagi seorang perempuan, bagi seorang istri?
“Tia, kita makan yuk.” Ajakku kepada Tia yang sedang menikmati acara tv sambil sesekali dia bercerita. “Ntar dulu Lel, aku belum lapar. Gampanglah nanti kalo udah lapar aku makan. Di depan ada yang jual makanan kan…., atau kita tunggu yang lewat aja.” Kata Tia menolak ajakanku. Oke…, aku ga salah lho. Aku udah nawarin kamu makan. Jangan bilang kalo aku ga nyuguhin kamu makan. Gurauku pada Tia yang disambut dengan sunggingan senyum manisnya.
Persoalan kita memang beda Tia. Tapi saat ini aku sedang kesal sama salah seorang temanku, teman dekat yang kupikir dia mensuportku. Dia “menusuk”ku dari belakang dengan perkataannya yang bikin aku naik darah. Masa’ dia bilang ke teman lain aku ini ga asik diajak bicara karena berpikiran mentok. Kalo hanya untuk pacaran saja ga apa-apa tapi ga bagus untuk diseriusin apalagi untuk dinikahi. Bah…!! Teman macam apa dia. Aku mau pacaran sama siapa kek, nikah sama siapa kek itu urusanku. Apa urusan dia ngomong seperti itu? Jahat sekali omongan dia itu. Ga sepantasnya dia bicara seperti itu pada temanku yang lain. Aku sempat tersinggung mendengar semua itu, tapi aku menahan diri supaya tidak ambil pusing omongannya. Ehh…. Selidik punya selidik kata teman nih, rupanya dia sedikit cemburu. Maklum, jaman dulu dia pernah naksir aku tapi ga pernah kutanggapi. Jadi dia ga rela kalo aku menemukan belahan jiwaku. Hehehe….. Itulah teman Tia, kadang membuat kita bahagia memilikinya, kadang membuat kita meradang dibuatnya. Yah itulah hidup, kata orang.

Malam beranjak makin larut, tapi Tia tidak beranjak dari tempat duduknya. Kami memesan nasi goreng yang lewat, setelah itu kami menyantapnya dengan lahap karena kami sama-sama lapar. Enak sekali nasi goreng pak kribo walaupun sederhana tapi terasa nikmat. Karena itulah aku jadi salah satu pelanggannya.
Perut kenyang…., mata tak mau ngantuk jua. Kami tetap bercerita sambil sekali-kali nonton acara tv. Tia yang malam itu menginap di rumah kupinjamkan baju dasterku agar dia bisa ganti pakaiannya. Obrolan kami lanjutkan di kamar tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Diluar kesadaraan kami sama-sama tertidur pulas hingga pagi datang. Untunglah hari esoknya Minggu jadi bisa santai bermalas-malasan di rumah. Tia beranjak dari tempat tidur kemudian kami sholat subuh bareng, kemudian Tia buru-buru mencuci bajunya yang kemarin dipakai supaya nanti dia bisa pakai kembali.

Hari makin terang, matahari bersinar cerah hari ini. Semoga ini pertanda bagus bagi Tia untuk menelusuri sisa hidupnya yang sedang bergejolak.

Senin, Maret 02, 2009

Ide Macet

Macet...!! Persis lalu lintas di jalanan ibukota. Jalan pelan-pelan yang penting sampai ditujuan. Dicoba tancap gas tapi sia-sia. Bener-bener ga bisa diapa-apain kalo udah begini. Alhasil tinggal tunggu kesempatan untuk jalan, baru bisa jalan. Sama dengan ideku untuk ngisi blog ini, kupaksa-paksain untuk bisa munculkan cerita tapi nihil.

Memang belakangan ini ide-ideku ga ada yang muncul. Melempem seperti krupuk kena air.

Ney..., punya ide untukku kah? Please donk, berbagi denganku...!!

Oya, tiba-tiba saja fbmu raib dari listku. Kemana wae atuh kang? Jangan suka begitu ahh..! Datang karena kuundang, pergi ya mbo' pamitan to kang! Kalo datang tak diundang, pulang tak diantar itu sih jaelangkung. Tapi kamu bukan itu kan?! Kamu jangkung iya. Dari dulu postur kamu paling kelihatan kalo baris.

Wis yo... jaringannya ngadat. Dari tadi the page cannot be displayed terus. Bosan...!!