Sabtu, Mei 24, 2008

Sebuah Pencarian : Wajibkah B'Jilbab

Tulisan ini aku ambil dari blog sdr. Aisar. Sejujurnya, sampai dengan hari inipun aku masih mencari2, wajibkah wanita muslim b'jilbab? Kalo memang wajib, wajib yang seperti apa dan bila tidak, bagaimana? Karena alasan itu pulalah aku mengambil tulisan ini untuk menambah pengetahuanku tentang pencarianku ini. Dan bukan karena kebetulan didalam tulisan sdr. Aisar ini juga ada pendapat dari Bapak Quraish Shihab, seorang pakar tafsir & ilmu2 Al-Quran yang aku kagumi atas pemikiran2nya tentang Islam.

Ini tulisannya :
Kaget! Saat itu mata saya tengah melihat ke sekeliling ruang tamu kediaman seorang tokoh umat Islam di Indonesia, Bapak Amien Rais. Bersama rekan-rekan dari Gamais, kami bermaksud untuk mengundang beliau sebagai pembicara di salah satu acara di kampus ITB. Mata saya mendapati sebuah foto keluarga terpampang di dinding : Pak Amien, Istri, serta anak-anaknya dalam balutan busana adat Jawa. Satu hal yang membuat saya kaget : tidak ada satu pun anggota keluarga beliau, baik istri maupun anak-anaknya yang berjilbab. Entah mengapa, logika saya tidak bisa menerima hal tersebut. Seorang pejuang reformasi -pembela jutaan rakyat yang tertindas-, aktivis dan ulama Islam -hingga pernah menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah-, saya terus bertanya dalam hati : Mengapa abai terhadap hal-hal “kecil” seperti itu?

Pertemuan dengan Pak Amien yang berlangsung singkat kala itu belum bisa memecahkan teka-teki yang muncul di benak saya. “Rasanya tidak mungkin kalau Pak Amien sampai mengabaikan perhatian terhadap keluarganya. Quu anfusakum wa ahlikum naara -peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka-, pasti beliau lebih paham betul makna ayat ini dibanding saya”. Saya coba bertanya ke salah satu alumni Gamais senior yang ikut mendampingi kami dalam kunjungan tersebut. “Oh, masalah itu. Memang fiqih yang diyakini Pak Amien seperti itu”, jawabnya. “Fiqih yang diyakini? Maksudnya?”, saya kembali bertanya. “Yaa, Pak Amien memandang jilbab bukan suatu kewajiban seperti shalat atau jihad misalnya”. Kali ini saya tambah bingung? Untuk pertama kalinya sejak saya mengaji di TPA umur 4 tahun, saya mendengar ada fiqih yang memandang jilbab bukan suatu kewajiban bagi muslimah.

Rasa ingin tahu saya mengenai “fiqih Pak Amien” membuat saya mencoba mencari berbagai sumber informasi tentang jilbab. Perpustakaan Salman kerap saya jabangi untuk mencari buku dengan keyword “jilbab”, “kerudung”, “fiqih wanita”, dan sejenisnya. Dengan keyword yang sama pula saya coba googling, dan menemukan artikel “menarik” berjudul “Kritik Atas Jilbab” yang ternyata ditulis oleh seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). (Artikel tersebut ada dibawah artikel ini, dengan judul "Kritik Atas Jilbab"). Artikel tersebut merujuk ke sebuah buku yang ditulis oleh Muhammad Sa’id Al Asymawi yang menerangkan sejarah diwajibkannya pemakaian jilbab, hingga dalil-dalil yang dirujuk oleh para ulama. Poin utamanya adalah : hadist-hadist yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab adalah hadist ahad (satu periwayatan) yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Saya bertanya dalam hati : “Bukannya di Al-Qur’an jelas diungkapkan tentang kewajiban berjilbab/berkerudung (An-Nur(24) : 31 dan Al-Ahzab(33) : 59)”. Menurut sang penulis, bila diteliti lagi di dalam tafsir Ibnu Katsir misalnya, perintah Allah untuk mengulurkan kerudung hingga menutup dada (An-Nur(24):31) dikarenakan perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya. Ditambahkan oleh Imam Zarkasyi : Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas selu-ruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan keru-dungnya mereka ke arah belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera diperintahkan untuk mengulur-kan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka. Sedangkan ayat Al-Ahzab(33):59 yang berisi perintah Allah untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh, turun ketika gangguan terhadap muslimah sangat gencar terutama dari kaum Yahudi dengan alasan tidak dapat membedakan perempuan muslim dan budak, seperti ditunjukkan dalam penggalan dari ayat itu : “..yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”

Saya tahu, mayoritas ulama di Indonesia tidak bersahabat dengan pergerakan Islam Liberal. Karenanya saya tidak menelan kata-kata mereka secara mentah-mentah. Buku-buku fiqih yang saya baca di Perpustakaan Salman tidak ada satu pun yang menggagas tentang dihalalkannya muslimah tidak berjilbab. Kalaupun ada yakni perbedaan pendapat tentang batasan aurat perempuan yang boleh diperlihatkan ke umum. Mayoritas ulama mensyaratkan seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, wajib ditutupi. Namun ada ulama dari mazhab Syafi’i yang membolehkan dibukanya telapak kaki.

Pencarian saya terhadap misteri “fiqih Pak Amien” belum juga memuaskan rasa ingin tahu saya. Saya terus berusaha mencari referensi-referensi lain, hingga saya membaca artikel di suatu majalah Islam, yakni diskusi mengenai buku tulisan seorang mufassir dan ulama besar di Indonesia, Prof. Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah”. Secara mengejutkan mantan Menteri Agama RI tersebut mengambil kesimpulan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama, bukan sesuatu yang harus diwajibkan, apalagi dipaksakan. Kontan banyak kritik berdatangan dari tokoh-tokoh Islam yang sudah lama mengagumi kecakapan beliau dalam menerjemahkan kandungan Al-Qur’an. Satu hal yang seketika ada di pikiran saya : “Get the book at any costs”.

Buku terbitan 2004 tersebut ternyata tidak mudah untuk didapatkan. Kios-kios di sekitar masjid Salman hingga ke Gramadia telah saya jabangi, ternyata hasilnya nihil. Saya hampir putus asa. Alhamdulillah, setelah saya coba googling, buku tersebut bisa didapatkan lewat salah satu toko buku online yang pusatnya di Jakarta. Setelah saya menyelesaikan pembayaran lewat transfer bank, beberapa hari kemudian buku itu sampai di tangan saya. Senangnya, saya langsung membalik halaman demi halaman buku tersebut. Ternyata bahasanya rada-rada “tinggi”, duh dasar profesor (atau memang saya yang telmi). Namun poin-poin yang dikemukakan buku tersebut insya Allah bisa saya mengerti.

Pada bagian pengantar buku disebutkan beberapa poin. Ketika anda membaca suatu ayat Al-Qur’an, mungkin maknanya telah terbesit di hadapan anda dengan jelas. Namun ketika anda coba membacanya sekali lagi, mungkin anda akan mendapat makna yang berbeda. Ayat-ayat Al-Qur’an itu bagaikan intan, yang tiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari sudut-sudut yang lain. Orang lain yang membaca ayat yang sama, mungkin dapat melihat cahaya yang lebih banyak dan berbeda dibandingkan dengan yang dapat anda lihat. Al-Qur’an menampung mazhab dan pandangan kelompok-kelompok Islam yang berbeda-beda dasar dan rinciannya. Kitab suci ini dapat menampung aneka pendapat ilmiah dengan metode-metode pendekatan yang berbeda-beda baik kuno maupun modern, hingga diungkapkan dalam Al-Isra’(17):84 “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”

Salah satu kecenderungan alim ulama yang dikritisi oleh Pak Shihab adalah menutup-nutupi kemudahan-kemudahan dalam beragama yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai contoh dalam kitab Shahih Bukhari, Nabi Muhammad suatu ketika shalat dhuhur lalu langsung dilanjutkan dengan ashar seperti menjamak kedua shalat tersebut padahal beliau tidak dalam perjalanan (musafir), tidak juga karena sebab-sebab yang jelas-yang dipahami sebagai alasan menjamak shalat. M. Rasyid Ridha menulis tentang gurunya yakni Syekh Muhammad Abduh bahwa “Kekaguman saya menyangut keteguhannya beragama, keindahan ibadahnya, serta ketekunannya bertahajud , tidak menghalangi saya untuk menyatakan bahwa beliau terkadang menjamak dua shalat wajib di tempat beliau bermukim (bukan musafir) sebagi rukhsah walau berbeda dengan pendapat keempat mazhab, namun sesuai dengan satu hadist shahih”.

Kecenderungan untuk menutup-nutupi kemudahan ini terlihat tidak sesuai dengan perintah Allah, antara lain dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh(2) : 185, “Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan” serta Al-Hajj(22):78, “.. dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam hal agama sedikit kesulitan pun”. Rasulullah juga sangat menganjurkan kemudahan beragama, beliau berpesan : “Berilah berita gembira dan jangan menjauhkan orang dari tuntutan agama, permudahlah dan jangan mempersulit” (HR Bukhari Muslim), serta perkataan Aisyah “Rasul saw. tidak dihadapkan pada dua pilihan, keculai memilih yang termudah, selama ia bukan dosa. Kalau dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhinya”(HR Bukhari Muslim).

Selain itu, kita sejak dulu sering mendengar adanya ijma’ (kesepakatan ulama) menyangkut satu hukum, atau bahwa makna satu ayat telah pasti demikian, tidak ada lagi kemungkinan makna lain untuknya, padahal persoalan itu masih diperselisihkan oleh para ulama dari dulu hingga kini. Karena itu pakar tafsir asal Libanon, Ibnu Umar Al-Biqa’i mengingatkan agar kita jangan mudah dan langsung membenarkan apa yang dinyatakan sebagai ijma’ karena pernyataan tentang ijma’ hanya dapat diterima dari mereka yang benar-benar memiliki kemampuan merangkum semua riwayat.

Bab-bab selanjutnya dari buku Quraish Shihab tersebut memaparkan perdebatan-perdebatan panjang mengenai batasan aurat wanita yang wajib ditutup ketika bermu’amalah. Mulai dari ulama yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, ulama yang memberi kelonggaran yakni boleh membuka muka dan telepak tangan, hingga ulama kontemporer yang cenderung menilai batasan aurat wanita adalah sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku setempat. Walaupun ayat-ayat Al-Qur’an yang dipakai untuk memberikan hujjah atas permasalahan ini relatif sama, namun penafsirannya sangat beragam. Begitu juga dengan hadist-hadist yang menjadi referensi : ketika ada sebagian ulama yang menshahihkannya, sebagian lain mendhoifkan, sebagian lain menilai hasan, dan seterusnya. Pembahasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah tersebut satu persatu tidak akan dimuat di sini karena keterbatasan tempat dan khawatir kekeliruan yang disebabkan redaksi yang tidak lengkap. Silakan lihat di buku “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah”, jika berminat insya Allah saya bersedia meminjamkannya.

Misalkan ketika membahas ayat An-Nur(24) : 31. Penggalannya adalah sebagai berikut :
‘Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”
Perdebatan muncul dalam hal apa saja yang “kecuali yang biasa tampak dari padanya”. Ada ulama yang menilai makna “perhiasan” adalah seluruh tubuh wanita karena dapat menarik perhatian laki-laki. Sehingga yang biasa tampak dan halal ditampakkan adalah pakaian luar saja. Ada yang menilai “perhiasan” sebagai anggota tubuh yang memakai perhiasan sehingga tidak apa-apa menampakkan celak mata (wajah) dan telapak tangan hingga pergelangan (tempat pacar dan gelang). Sementara itu ulama lainnya berpendapat : Al-Qur’an tidak secara tegas menunjukkan batas-batas tersebut sehingga memakai kalimat yang menunjukkan bahwa batas-batas tersebut diserahkan pada adat dan kebiasaan yang berlaku setempat. Pada kalimat selanjutnya yakni menutupkan kain kudung ke dadanya, para ulama sepakat bahwa bagian dada wanita tidak boleh ditampakkan. Namun yang menjadi soal bagi ulama kontemporer apakah menutup rambut juga suatu kewajiban mengingat kain kerudung penutup kepala yang dimaksud pada ayat di atas adalah lumrah digunakan di Arab, bahkan sebelum turunnya ayat tersebut. Jadi penutup kepala bukanlah produk Islam melainkan produk budaya Arab setempat.

Contoh paparan di atas memang tidak bisa mewakili seluruh perdebatan panjang yang dimuat oleh buku tersebut. Hingga akhirnya Quraish Shihab mengambil kesimpulan memakai jilbab(kerudung) atau penutup kepala adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat). Namun bukan berarti Islam tidak menetapkan batasan mengenai cara berpakaian wanita. Perempuan wajib memakai pakaian yang sopan sesuai adat dan kebiasaan setempat, sehingga tidak mengundang rangsangan bagi yang melihatnya. Juga bukan berarti beliau menyerukan perempuan untuk melepas jilbabnya. Menurut beliau memakai jilbab adalah suatu bentuk kehati-hatian yang juga positif untuk diterapkan. Perlu dicatat hal ini hanya berlaku di dalam bermuamalah, sedangkan dalam ibadah khusus seperti shalat, Rasulullah tegas memerintahkan batasan pakaian perempuan termasuk menutupi rambut mereka.

Terminologi “sopan” sesuai adat dan kebiasaan setempat mungkin terlihat sangat subjektif, sehingga seolah tidak ada batasan yang pasti bagaimana perempuan berpakaian. Adat dan kebiasaan adalah sesuatu yang terbentuk secara alamiah, bahkan kadang tanpa anda sadari.Seorang perempuan yang memakai baju tertutup rapi, dengan celana panjang, atau rok yang cukup panjang, tentu akan terlihat sopan, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Ketika perempuan berpakaian seperti itu berada di Arab Saudi, misalkan, kemungkinan besar ia akan dianggap “tidak sopan”. Pun ia menggunakan jilbab, adat dan kebiasaan setempat masih menganggapnya “tidak sopan” hingga ia mengenakan burqa (pakaian bercadar).

Bagaimana dengan di negara Barat? Dengan pemahaman seperti itu bukankah berarti perempuan muslim di Barat boleh-boleh saja berpakaian terbuka dan bahkan mengenakan bikini saat berjemur di pantai yang menjadi kebiasaan di sana? Saya coba jelaskan bahwa “Biasa” dan “Sopan” adalah sesuatu yang dapat kita definisikan berbeda. Melihat tubuh lawan jenis, berkata “you’re sexy” bahkan di depan suaminya, adalah sesuatu yang “biasa” di Barat, itulah “biasa” atas “ketidaksopanan”. Berpakaian sopan identik dengan berpakaian yang tidak memancing “perhatian” atau “keusilan” laki-laki. Kalau masih ragu anda bisa bertanya sebanyak-banyaknya pada rekan laki-laki anda untuk membedakan mana penampilan perempuan yang “memancing” dan mana yang “sopan/tidak memancing”, niscaya anda akan mendapat jawaban yang memuaskan.

Selesai membaca buku itu, ada semacam pola pikir baru yang saya dapatkan dalam memahami ajaran Islam. Moderasi, mungkin itu kata yang paling tepat. Penafsiran tunggal atas seluruh ajaran Islam mustahil untuk dilakukan. Seperti dalam Al-Maidah(5):48 “..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..”. Saat shalat Jum’at terakhir saya mendapat sebuah buletin rutin yang kebetulan membahas tentang Pornografi dan Pornoaksi. Ada tulisan yang menarik yaitu : “Tentu saja dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariah Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Sebab, aurat dalam pandangan Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan”. Wah, pikir saya, seandainya statement itu menjadi undang-undang di negeri ini, niscaya akan banyak orang yang dituntut ke pengadilan. Olahraga sepakbola mungkin tidak diperbolehkan lagi mengingat celana pendek yang dikenakan pemainnya. Ah, mungkin saya saja yang berpikir terlalu jauh. Tapi saya hargai pendapat-pendapat demikian sebagai buah dari pemikiran yang berhati-hati.