Jumat, Mei 15, 2015

Curhat Seorang Madridista

Liga-liga Eropa musim 2014/15 segera usai. UEFA Champions League sudah memasuki babak final yang akan digelar pada 6 Juni 2015 yang mempertemukan wakil Spanyol dan wakil Italy, Barcelona vs Juventus.
Klub kesayanganku Real Madrid tersisih dibabak semifinal saat melawan Juventus dengan agregat 2 - 3. Menyakitkan memang, saat piala UCL lepas dari genggaman Madrid setelah musim lalu berhasil diraihnya. Kutukan juara bertahan masih berlaku rupanya, dimana pemegang juara sebelumnya tidak bisa meraihnya kembali dimusim setelahnya (secara berturut-turut).
Banyak spekulasi yang muncul setelah kegagalan Madrid maju ke final UCL musim ini. Mulai dari pemain, pelatih, ketatnya jadwal tanding termasuk jadwal laga persahabatan saat libur paruh waktu Desember lalu, masalah cedera pemain, dan sebaginya. Yang membuatku sedikit tidak terima saat sebagian fans menyalahkan Bale sebagai salah satu biang kegagalan Madrid. Bale memang banyak disorot atas penampilannya yang menurun setelah kritikan padanya sebagai pemain yang egois. 
Atmosfir sepak bola Spanyol dan Inggris rupanya berbeda. Bagi Bale yang sebelumnya adalah pemain klub Tottenham Hotspur (Inggris), hal yang dilakukan seorang pemain seperti Bale, menggiring bola sendiri untuk menembus gawang lawan (mungkin) dianggap biasa karena tujuan bermain bola salah satunya adalah mencetak gol sebanyak-banyak ke gawang lawan dan menang. Tetapi tidak bagi gaya sepakbola Spanyol khususnya Madrid, para suporter Madrid akan bereaksi keras bila ada pemain yang egois dan tidak membuahkan gol. Apalagi pada saat Bale bermain "sendiri" bola yang digiringnya meleset keluar gawang padahal disaat bersamaan di posisi sama-sama di depan gawang ada rekan se-tim yang bisa mengambil alih bola bila Bale mau mengoper bola kepada pemain lain itu.
Seorang pemain mahal akan dituntut bermain bagus dan mencetak gol sebanyak-banyaknya, apalagi dia seorang striker atau gelandang serang. Bagi Bale dan pemain lainnya, bila dia tidak agresif di lapangan dan tidak menunjukkan performa bagus, otomatis dia akan dipaksa hengkang dari klub. Karena sebuah klub sepak bola seperti Real Madrid menuntut hasil gemilang pada setiap pemain atau pelatih yang bekerja di sana. Untuk itu gaji mahal bayarannya dan bagi klub akan menuntut hasil yang sebagus mungkin.
Kemudian hal lain, ngomong-ngomong soal pelatih Carlo Ancelotti yang diisukan bakal dipecat Madrid rasa-rasanya kok sayang yaa..? Pelatih siapa yang sekaliber Ancelotti yang bakal menggantikan bila dia benar-benar dipecat? Jose Mourinho? Dia masih melatih Chelsea. Zinedine Zidane? Selain masih menangani Real Madrid Castilla dia belum berpengalaman menangani klub besar sebagai pelatih kepala. Musim lalu Zidane menjadi asisten Ancelotti menangani Real Madrid dan sukses mempersembahkan 4 trofi bergengsi diajang Eropa dan dunia. Atau sebaiknya Ancelotti kembali bersama Zidane menangani Real Madrid di musim depan. Aku berharap demikian, karena secara pribadi aku tidak suka bila Ancelotti diganti hanya karena musim ini penampilan Madrid tidak konsisten dan terancam tanpa gelar. Mengapa tidak memberi kepercayaan kembali pada Ancelotti yang masih punya kontrak hingga 2016 menangani Madrid. Apalagi Ancelotti mengaku masih senang berada di Real Madrid dan dia suka pada pemain-pemain Real Madrid. Daripada membangun kesinambungan lagi dari awal, bukankah meneruskan yang sudah ada lebih baik? Apalagi kesalahan bukan hanya dari pelatih saja karena memang Ancelotti senang bereksperimen dengan mengganti formasi dan posisi pemain untuk menemukan formula ampuh bagi skuad Real Madrid, yang sayangnya belum membuahkan hasil positif di musim ini. Layak dicoba kembali mempertahankan sang pelatih di musim depan. Semoga presiden Real Madrid, Florentino Perez masih berbaik hati mempertahankan Carlo Ancelotti tetap melatih klub. 

Rabu, Mei 13, 2015

Jogja, Wajahmu Kini




Kesederhanaan Jogja perlahan semakin terkikis dengan bertambahnya mall-mall yang semakin menjamur dibeberapa belahan kota. Tidak bermaksud menolak pembangunan bisnis, tapi mall-mall yang ditanam oleh para pengembang raksasa ini perlahan-lahan merubah wajah kota yang sederhana menjadi sebuah kota yang hedonis. Kota yang tidak begitu besar ini sudah ditumbuhi enam mall yang sudah beroperasional, dari skala mall kecil, menengah dan besar (untuk ukuran Jogja). Masih ada enam mall lagi yang akan dibuka pada tahun ini hingga tahun 2018.
Bulan Mei ini mall baru kabarnya siap menyusul beroperasional di kawasan ring road utara. Menurut promosi yang digembar gemborkan (katanya) terbesar di Jogja bahkan Jawa Tengah. Yang menjadi pertanyaan saya dalam hati, siapakah yang akan berbelanja tiap hari di pusat belanja modern ini? Dari amatan saya sewaktu jalan-jalan di mall, kebanyakan pengunjung hanya sight seeing, window shopping alias cuma lihat-lihat saja. Apa lama-lama gak bangkrut tuh mall?
Jogja istimewa, begitu tagline yang baru saja diluncurkan beberapa waktu lalu. Kalo sudah begini apanya lagi yang istimewa? Mall, hotel, papan reklame dimana-mana membuat pemandangan Jogja semakin aneh dimataku.
Hotel-hotel tumbuh bak jamur dimusim hujan. Banyak banget! Saya gak tau pasti jumlahnya ada berapa? Tingkat hunian tinggi hanya waktu tertentu saja, saat liburan sekolah atau liburan hari raya. Kenapa tidak diperbanyak pusat kebudayaan, tempat rekreasi, buat taman kota yang indah dan asri yang bisa dijadikan tempat bersantai warga Jogja. Tempat-tempat wisata yang sudah ada hendaknya dipelihara. Jangan cuma senang didatangi tetapi tidak dirawat. Nantinya orang akan malas untuk kembali lagi ke situ.
Kawasan Malioboro dibenahi, ditertibkan, dibersihkan dan dirapikan agar lebih aman, nyaman lagi bagi orang-orang yang jalan-jalan kesana. Bila perlu jadikan Malioboro kawasan pejalan kaki (kendaraan dilarang melintas disana). Buat kafe-kafe jalanan sepanjang Malioboro. Kan asik tuh, kalo kita capek jalan-jalan bisa langsung duduk santai di kafe jalanan sambil menikmati suasana Jogja sembari mencicipi jajanan atau minuman yang dijual.
Sejujurnya, eksploitasi Jogja yang berlebihan ini membuat saya sebagai warga Jogja bertanya dalam hati, benarkah Jogja tak lagi istimewa sebagai kota yang sederhana? Apakah wajah Jogja yang “lugu” masih ada? Ataukah saya salah masih mengharapkan kota sederhana seperti dulu ditengah gempuran kemajuan jaman?