Kamis, September 13, 2018

Judule Opo Yo..?


Diary dear..,

Mengurus turun waris memang tidak mudah. Ada saja yang kurang lengkap ada saja yang ngeyel. Harus ini itu dan menunggu. Apalagi rumah yang kutempati surat tanahnya masih bentuk Model D. Surat tanah model seperti ini sah dan sudah tercatat/terdaftar di Agraria setempat. Sejarahnya apa aku kurang mengerti kenapa surat tanah di DIY dan sebagian wilayah Indonesia (kalo gak salah) masih ada yang bentuk Model D. Bahkan ada yang letter C segala. Monggo silahkan googling kalo pingin tahu. Hehehe…
Untuk menaikkan menjadi sertipikat harus konversi dulu istilahnya. Setelah dikonversi baru jadi sertipikat tanahnya (sekalian turun waris dan ganti nama apabila itu warisan).

Sudah 2x aku mondar mandir ke Jawa Timur (salah satu kota di sini) mengurus akta kematian orang tua dan membuat surat keterangan ahli waris dan sebagainya. Sempat tersendat karena pihak kelurahan sana tidak mau menandatangani berkas karena kakak dan salah satu adikku belum tanda tangan. Harus dihadapan lurahnya atau diberi solusi saat penanda tanganan berkas oleh kakak dan adikku (bila mereka tidak bisa hadir di sana) aku harus membuat dokumentasi foto saat mereka tanda tangan berkas dan dicetak. Aku pulang ke Jogja lagi memenuhi permintaan pihak kelurahan sana. Setelah selesai memenuhi kekurangan syarat dan berkas aku kembali lagi ke Jawa Timur. Balik lagi ke kelurahan sana untuk meminta tanda tangan pak lurah kemudian ke kecamatan. Nyaris ada lagi yang dipermasalahkan oleh pegawai kelurahan sana karena jarak tanggal pembuatan SKW dan lainnya agak berjauhan waktunya. Tetapi syukurlah pak lurahnya meng-acc dan tidak mempermasalahkan. Kemudian setelah itu aku ke kecamatan setempat diantar oleh saudara sepupuku.
Selesai dari sana aku langsung pulang. Mempersiapkan kelengkapan berkas untuk dilanjutkan minta tanda tangan tetangga kiri kanan, depan belakang. Ijin RT, RW dan dukuh. Lagi… pak dukuhnya sedikit rewel yang katanya surat kerelaan tidak menerima warisan dari kakak dan adikku harus ditanda tangani kelurahan dan kecamatan setempat (sesuai KTP kakak dan adik tinggal). Wah, masa’ kudu ke Semarang dan Bekasi minta tanda tangan dan cap kelurahan dan kecamatan sana? Membayangkan wira wirinya aku udah mulai kesal. Aku cerita pada Nathan, temanku yang bekerja di kantor notaris. Dia bilang mungkin dukuhnya ngerti tanah daerah rumahku nilai ekonominya tinggi, jadi dia “nyari-nyari”, katanya. Nathan pun bilang surat kerelaan itu ditanda tangani dan dicap oleh kelurahan dan kecamatan dimana obyek tanah berada. Bukan berdasarkan KTP tinggal saudara. Itu orang BPN sendiri yang bilang, sambung Nathan.

Aku balik lagi ngeyel sama pak dukuhnya, bahwa… untuk surat kerelaan tidak menerima… itu ditanda tangani kelurahan dan kecamatan dimana obyek tanah berada. Ini kata orang BPN, kataku. Dianya masih ngeyel, katanya mau ditanyakan dulu ke kelurahan dan BPN. Monggo saja pak, kataku. Aku pulang dengan tangan hampa. Kesal bercampur kecewa. Keesokan harinya aku ke kantor BPN minta dibuatkan memo agar pak dukuh mau percaya apa yang sudah aku bilang dan sekaligus dia percaya bahwa aku sudah ke kantor BPN untuk menanyakan hal itu.
Pagi aku ke kantor BPN setempat, ketemu pegawai BPN bagian informasi lalu aku ceritakan masalahku. Pegawai bagian informasi tersebut mempertemukan aku dengan bapak yang biasa mengurusi berkas-berkas turun waris di BPN. Alhamdulillah memo aku dapat darinya dan dia berpesan kalo ada masalah lagi orangnya suruh tanya langsung ke beliau. Siap pak, matur nuwun atas pertolongannya, kataku.
Dengan membawa memo dari BPN, Sabtu kemarin aku 3x bolak balik ke rumah pak dukuh. Sayangnya beliau tidak ada di rumah terpaksa Minggu pagi  aku ke rumahnya lagi, akhirnya bertemu pak dukuh dan kusodorkan berkasku dan memo dari BPN. Pak dukuh membaca memo tersebut dan langsung menanda tangani berkasku. Nah begitu.., kataku dalam hati. Alhamdulillah satu rintangan sudah teratasi.
Sekarang berkas sudah disahkan oleh kelurahan dan kecamatan. Eh… ada saja yang kurang. Ternyata petikan letter C dan djeneng yang harusnya dikeluarkan oleh kelurahan belum diberikan. Terpaksa lagi aku harus balik ke kelurahan meminta itu. Eh lha dalah… sampai di kelurahan pihak yang mengurusi urusan warisan tidak bisa diganggu karena sedang ada pemeriksaan keuangan desa oleh inspektorat. Memang harus sabar… sabar menunggu. Setelah dapat petikan letter C dan djeneng dari kelurahan kemudian ke kantor pajak untuk laporan pajak waris. Berlanjut ke BPN mendaftarkan berkas, lalu kemudian menunggu pengukuran ulang tanah (obyek waris) oleh pihak BPN, dst dst.
Proses konversi ini memang cukup lama, memakan  waktu sekitar 6 bulan (paling cepat) hingga 8 bulan sampai jadi sertipikat tanah sekaligus ganti nama keahli waris.

Kenapa tidak diurus saat orang tua masih ada? Begitu pertanyaan dari saudara atau teman yang mencoba mengulik kenapa aku baru sekarang mengurus semua ini. Aku jawab, karena waktu bapak atau ibuku masih ada/hidup mereka belum pernah secara langsung memintaku mengurus tanah + rumah itu dibalik nama atas namaku. Masa’ iya aku mau menyodor-nyodorkan diri meminta pada mereka agar tanah + rumah yang kutinggali itu dibalik namaku? Gak etis dan gak sopan kan..?! Walau secara lisan mereka sudah mengatakan kepadaku dan saudara-saudaraku (kakak, adik-adik dan lainnya) bahwa rumah yang kutempati itu diberikan kepadaku. Sekarang setelah kedua orang tuaku telah tiada, kakak menyuruhku segera mengurus balik nama (turun waris) tanah dan rumah itu.

Awal mula semua kulakukan sendiri karena kupikir lewat notaris akan sama saja aku harus turun kebawah untuk urusan RT, RW, Dukuh kemudian kelurahan karena menurut informasi pihak kelurahan sini tidak mau pihak ketiga yang mengurus, harus ahli warisnya atau salah satu dari ahli waris. Belum lagi mengurus akta kematian orang tua ke Jawa Timur karena KTP orang tua dari sana, dan juga urusan pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKW), Pernyataan Ahli Waris dan surat-surat lain sebagainya sebagai kelengkapan dokumen pendukung, ahli waris harus datang sendiri ke kelurahan sana (Jawa Timur). Tanda tangan di depan pak lurahn dst.
Jujur saja, yang paling njelimet adalah meminta tanda tangan dan cap. Ini yang buat aku wira wiri.

Dalam mengurus konversi dan turun waris ini aku dibantu oleh Nathan (Jonathan) seorang teman yang bekerja di notaris, sudah kuceritakan diatas ya. Aku banyak bertanya padanya, segala macam prosedur dan apa saja yang harus dilengkapi.  
Dari pengalaman yang aku peroleh selama ini ternyata kebijakan instansi satu dan yang lainnya ada perbedaan. Ada yang ketat pada peraturan, ada yang sedikit longgar. Tergantung kebijakan masing-masing.

Semoga lancar, tidak ada masalah lagi dan cepat selesai dengan baik. Aamiin ya Allah…