Diary dear..,
Mengurus turun waris memang tidak mudah. Ada saja
yang kurang lengkap ada saja yang ngeyel. Harus ini itu dan menunggu. Apalagi
rumah yang kutempati surat tanahnya masih bentuk Model D. Surat tanah model
seperti ini sah dan sudah tercatat/terdaftar di Agraria setempat. Sejarahnya
apa aku kurang mengerti kenapa surat tanah di DIY dan sebagian wilayah
Indonesia (kalo gak salah) masih ada yang bentuk Model D. Bahkan ada yang
letter C segala. Monggo silahkan googling kalo pingin tahu. Hehehe…
Untuk menaikkan menjadi sertipikat harus konversi
dulu istilahnya. Setelah dikonversi baru jadi sertipikat tanahnya (sekalian
turun waris dan ganti nama apabila itu warisan).
Sudah 2x aku mondar mandir ke Jawa Timur (salah
satu kota di sini) mengurus akta kematian orang tua dan membuat surat
keterangan ahli waris dan sebagainya. Sempat tersendat karena pihak kelurahan
sana tidak mau menandatangani berkas karena kakak dan salah satu adikku belum
tanda tangan. Harus dihadapan lurahnya atau diberi solusi saat penanda tanganan
berkas oleh kakak dan adikku (bila mereka tidak bisa hadir di sana) aku harus
membuat dokumentasi foto saat mereka tanda tangan berkas dan dicetak. Aku
pulang ke Jogja lagi memenuhi permintaan pihak kelurahan sana. Setelah selesai
memenuhi kekurangan syarat dan berkas aku kembali lagi ke Jawa Timur. Balik
lagi ke kelurahan sana untuk meminta tanda tangan pak lurah kemudian ke
kecamatan. Nyaris ada lagi yang dipermasalahkan oleh pegawai kelurahan sana karena
jarak tanggal pembuatan SKW dan lainnya agak berjauhan waktunya. Tetapi
syukurlah pak lurahnya meng-acc dan tidak mempermasalahkan. Kemudian setelah
itu aku ke kecamatan setempat diantar oleh saudara sepupuku.
Selesai dari sana aku langsung pulang. Mempersiapkan
kelengkapan berkas untuk dilanjutkan minta tanda tangan tetangga kiri kanan,
depan belakang. Ijin RT, RW dan dukuh. Lagi… pak dukuhnya sedikit rewel yang
katanya surat kerelaan tidak menerima warisan dari kakak dan adikku harus
ditanda tangani kelurahan dan kecamatan setempat (sesuai KTP kakak dan adik
tinggal). Wah, masa’ kudu ke Semarang dan Bekasi minta tanda tangan dan cap
kelurahan dan kecamatan sana? Membayangkan wira wirinya aku udah mulai kesal.
Aku cerita pada Nathan, temanku yang bekerja di kantor notaris. Dia bilang mungkin
dukuhnya ngerti tanah daerah rumahku nilai ekonominya tinggi, jadi dia “nyari-nyari”,
katanya. Nathan pun bilang surat kerelaan itu ditanda tangani dan dicap oleh
kelurahan dan kecamatan dimana obyek tanah berada. Bukan berdasarkan KTP tinggal
saudara. Itu orang BPN sendiri yang bilang, sambung Nathan.
Aku balik lagi ngeyel sama pak dukuhnya, bahwa…
untuk surat kerelaan tidak menerima… itu ditanda tangani kelurahan dan
kecamatan dimana obyek tanah berada. Ini kata orang BPN, kataku. Dianya masih
ngeyel, katanya mau ditanyakan dulu ke kelurahan dan BPN. Monggo saja pak,
kataku. Aku pulang dengan tangan hampa. Kesal bercampur kecewa. Keesokan
harinya aku ke kantor BPN minta dibuatkan memo agar pak dukuh mau percaya apa
yang sudah aku bilang dan sekaligus dia percaya bahwa aku sudah ke kantor BPN
untuk menanyakan hal itu.
Pagi aku ke kantor BPN setempat, ketemu pegawai BPN
bagian informasi lalu aku ceritakan masalahku. Pegawai bagian informasi tersebut
mempertemukan aku dengan bapak yang biasa mengurusi berkas-berkas turun waris
di BPN. Alhamdulillah memo aku dapat darinya dan dia berpesan kalo ada masalah
lagi orangnya suruh tanya langsung ke beliau. Siap pak, matur nuwun atas
pertolongannya, kataku.
Dengan membawa memo dari BPN, Sabtu kemarin aku 3x
bolak balik ke rumah pak dukuh. Sayangnya beliau tidak ada di rumah terpaksa
Minggu pagi aku ke rumahnya lagi,
akhirnya bertemu pak dukuh dan kusodorkan berkasku dan memo dari BPN. Pak dukuh
membaca memo tersebut dan langsung menanda tangani berkasku. Nah begitu..,
kataku dalam hati. Alhamdulillah satu rintangan sudah teratasi.
Sekarang berkas sudah disahkan oleh kelurahan dan
kecamatan. Eh… ada saja yang kurang. Ternyata petikan letter C dan djeneng yang
harusnya dikeluarkan oleh kelurahan belum diberikan. Terpaksa lagi aku harus
balik ke kelurahan meminta itu. Eh lha dalah… sampai di kelurahan pihak yang
mengurusi urusan warisan tidak bisa diganggu karena sedang ada pemeriksaan
keuangan desa oleh inspektorat. Memang harus sabar… sabar menunggu. Setelah
dapat petikan letter C dan djeneng dari kelurahan kemudian ke kantor pajak untuk
laporan pajak waris. Berlanjut ke BPN mendaftarkan berkas, lalu kemudian
menunggu pengukuran ulang tanah (obyek waris) oleh pihak BPN, dst dst.
Proses konversi ini memang cukup lama, memakan waktu sekitar 6 bulan (paling cepat) hingga 8
bulan sampai jadi sertipikat tanah sekaligus ganti nama keahli waris.
Kenapa tidak diurus saat orang tua masih ada?
Begitu pertanyaan dari saudara atau teman yang mencoba mengulik kenapa aku baru
sekarang mengurus semua ini. Aku jawab, karena waktu bapak atau ibuku masih
ada/hidup mereka belum pernah secara langsung memintaku mengurus tanah + rumah
itu dibalik nama atas namaku. Masa’ iya aku mau menyodor-nyodorkan diri meminta
pada mereka agar tanah + rumah yang kutinggali itu dibalik namaku? Gak etis dan
gak sopan kan..?! Walau secara lisan mereka sudah mengatakan kepadaku dan
saudara-saudaraku (kakak, adik-adik dan lainnya) bahwa rumah yang kutempati itu
diberikan kepadaku. Sekarang setelah kedua orang tuaku telah tiada, kakak
menyuruhku segera mengurus balik nama (turun waris) tanah dan rumah itu.
Awal mula semua kulakukan sendiri karena kupikir
lewat notaris akan sama saja aku harus turun kebawah untuk urusan RT, RW, Dukuh
kemudian kelurahan karena menurut informasi pihak kelurahan sini tidak mau
pihak ketiga yang mengurus, harus ahli warisnya atau salah satu dari ahli
waris. Belum lagi mengurus akta kematian orang tua ke Jawa Timur karena KTP orang
tua dari sana, dan juga urusan pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKW),
Pernyataan Ahli Waris dan surat-surat lain sebagainya sebagai kelengkapan
dokumen pendukung, ahli waris harus datang sendiri ke kelurahan sana (Jawa
Timur). Tanda tangan di depan pak lurahn dst.
Jujur saja, yang paling njelimet adalah meminta
tanda tangan dan cap. Ini yang buat aku wira wiri.
Dalam mengurus konversi dan turun waris ini aku dibantu oleh Nathan (Jonathan) seorang teman yang bekerja di notaris,
sudah kuceritakan diatas ya. Aku banyak bertanya padanya, segala macam prosedur
dan apa saja yang harus dilengkapi.
Dari pengalaman yang aku peroleh selama ini
ternyata kebijakan instansi satu dan yang lainnya ada perbedaan. Ada yang ketat
pada peraturan, ada yang sedikit longgar. Tergantung kebijakan masing-masing.
Semoga lancar, tidak ada masalah lagi dan cepat
selesai dengan baik. Aamiin ya Allah…