Sore kemarin tiba-tiba orang yang tak kusangka datang ke rumah. Sumpriiittt gak kuduga sama sekali. Saat dia datang kebetulan aku sedang mandi sehingga tidak ada yang membukakan pintu. Aku ditelpon tapi gak dengar juga. Selesai mandi aku melihat keluar, aku lihat ada tas kresek menggantung di hadle pintu depan. Aku buka pintu ternyata ada pizza satu dos. Aku sempat berpikir apakah adikku yang taruh pizza di situ? Kemudian bergegas aku mengecek hp, ternyata bukan adikku. Aku lihat lagi chatting WA lainnya ternyata ada nama seseorang yang sangat familiar.
Dia : Kirimannya udah diterima?
Aku : Sudah
Aku : Pizza?
Tiba-tiba dia langsung telepon aku dan... gak tahunya dia sendiri yang ngantar pizza itu. OMG, aku jadi bingung dan kaget atas kedatangannya yang tiba-tiba itu. Dengan apa adanya terpaksa aku terima dia. Bukannya gak senang didatangi tapi gak pede aja didatangi dengan tampilan acak-acakanku. Yo wes pasrah kalo masih mau menerima aku apa adanya ya sukur.., enggak pun ya gak papa.
Kami makan pizza bareng-bareng, aku satu potong dia satu potong. Kemudian dia pesan Go Food. Sempat bingung mau makan apa, akhirnya sepakat makan nasi Padang. Tapi aku merasa aneh, setelah makan pizza dan nasi Padang aku tawari minum dia gak mau. Aku ambil botol air putih dari kulkas dan gelas, aku sodorkan ke dia tapi dia tetap gak mau meminumnya. Aku pikir orang abis makan kan butuh minum. Aku paksa tetap gak mau malah mau pesan minum teh panas segala lewat Go Food, tapi ini tidak jadi. Lalu aku cari di kulkas air mineral, ada tapi ukuran botol kecil. Aku sodorkan air mineral itu lalu dia mau minum. Aku berkelakar bilang ke dia, air putih yang di botol kulkas itu gak ada jampi-jampinya kok. Aman.. kataku.
Ditawari makan pakai sendok gak mau, maunya makan pakai tangan. Memang sih, makan nasi Padang enaknya makan pakai tangan langsung.
Piring pun hampir saja gak dipakai maunya makan langsung. Kan tumpah kalo cuma dipegang tangan bungkusan nasinya. Akhirnya mau pakai piring. Tissue basah yang kusediakan juga gak mau. Ya kayak gitu-gitu lah kadang-kadang bikin aku bingung. Entah dia jijik atau takut tertular penyakit atau takut dijampi-jampi sampai-sampai gak mau apa-apa yang kusediakan. Semoga saja dugaanku ini salah.
Lepas dari semua itu aku senang dia mau datang ke rumahku. Surprise banget. Tanpa direncana tanpa diminta tahu-tahu nongol aja di depan pintu. Semoga tali silaturahmi kami tetap terjalin dengan baik selamanya. Aamiin...
Adalah sebuah blog yang dimiliki oleh seorang wanita biasa. Memiliki motivasi nge-BLOG yang sederhana dan menyalurkan hobi melamun dengan menuangkan hasil lamunannya dalam bentuk tulisan. Lumayan, memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan positif... Hehehe...
Kamis, September 20, 2018
Senin, September 17, 2018
Selingan
Saat aku ke Jawa Timur di rumah saudara,
menyempatkan ngobrol dengan bude-ku, bercerita tentang masa lalu. Beliau
antusias menceritakan masa mudanya dan kenangan masa lalunya.
Aku menanyakan tentang mbah putri (eyang putri/nenek)
ibu dari ibuku. Tanyaku pada bude, mbah putri dulu itu putih ya kulitnya?
Budeku bilang, iya.. mbah putri itu ada keturunan Chinese-nya., gak tau apanya yang
Chinese. Mungkin sesepuhnya dulu. Makanya kulitnya putih, kata budeku. Kalo mbah kakung (kakek) kulitnya
kuning langsat.
Satu orang yang lain cuma selintas saja karena kejar target menikah. Dianya menentukan waktu harus dapat jawaban dariku, sedangkan aku belum ditanyain mau atau gak? Waktu yang telah ditentukan datang aku tidak memberi jawaban apa-apa karena ada hal yang aku kurang respek darinya. Berlalu begitu saja...
Btw, pernah juga aku ke toko tas, kejadiannya sekitar 3
tahun lalu. Saat aku pilih-pilih tas dan meminta masukan pada seorang
pramuniaga, aku tanya ke mbaknya itu (pramuniaga), mbak mana yang bagus nih..,
yang ini atau yang satunya lagi sambil aku menunjukkan dua buah tas dengan warna
berbeda. Lalu mbak pramuniaganya bilang, kalo ibu sih warna apa saja cocok
karena kulit ibu putih. Bukannya ibu Chinese ya? Tanya pramuniaga itu. Haahh..? Bukan mbak, saya asli wong Jowo, kataku sambil tertawa. Ada juga pedagang
makanan kaki lima, sering aku beli makanan di situ, saat aku berjilbab mbaknya
bilang ke aku, lho.. saya kira mbak orang Chinese? Tanyanya saat dia tahu aku
berjilbab. Memang kenapa mbak, tanyaku balik. Kirain mbaknya Chinese, kata si penjual itu.
Pun dulu jamannya aku masih muda (jiaaahhh masih
muda! Hehee..) temanku sering ngeledekin aku encik-encik, kata mereka. Hahaha…
Padahal kan aku gak sipit, wajahku juga kalo diperhatikan gak oriental. Tapi kebanyakan orang yang baru kenal aku sangkaannya aku bukan orang Jawa. Kalo gak dibilang orang Sumatera, orang Sunda, atau ada Chinese-nya ya? Mereka melihat karena kulitku putih yang identik seperti orang Chinese.
Pantas aja dulu yang naksir aku orang Chinese, mungkin dikira aku ada turunan
Chinese-nya ya? Sampai-sampai pernah nih ada cowok Chinese datang ke rumah beberapa
kali. Sepertinya dia sedang pedekate sama aku karena aku melihat gelagatnya
seperti layaknya cowok naksir cewek. Aku bilang sama dia kalau aku ini orang
Jawa. Aku kuatir jangan-jangan dia salah kira, nanti dikiranya
aku sama seperti dia, Chinese. Karena biasanya orang Chinese pasangannya sama
orang Chinese seperti kebanyakan. Begitu ya? Mohon dikoreksi dan dimaafkan kalo
aku salah.
Terus dia bilang, memang gak boleh ya kalo aku suka
sama kamu? Kata dia begitu waktu itu. Ya boleh-boleh aja, kataku. Tapi apa kamu
gak masalah nantinya? (maaf omongan kami waktu itu bukan memojokkan masalah ras
satu dan yang lalinnya. Sama sekali tidak! Ini cuma sebuah "penekanan" saja, agar temanku itu tidak
salah naksir orang). Enggak masalah, kata dia lagi. Tapi entah kenapa waktu itu aku gak berkeinginan pacaran sama dia. Aku lebih suka berteman saja sama dia meskipun dia tidak pernah mempermasalahkan aku ini siapa. Bagi dia suka/cinta tidak bisa dibatasi oleh apapun. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun pada akhirnya antara aku dan dia tidak terjadi hubungan serius, kami tidak pacaran. Kami berteman baik hingga dia balik ke kampung halamannya, Bogor.
Ada lagi teman Chinese lainnya yang ngajak nikah.
Seorang duda, ngebet banget mau nikahin
aku. Aku bilang ke dia, aku ini Islam. Apa gak masalah buat kamu dan
keluargamu? Aku gak bisa kalo aku ninggalin agamaku. Kemudian dia bilang ke
aku, oke kalo gitu aku (maksudnya dia) yang masuk Islam. Aku bilang sama dia,
gak gampang lho orang masuk Islam kalo gak bener-bener niat dan mau
ngejalaninya. Jangan cuma karena aku, kamu mau masuk Islam, terus sesudah itu
kamu gak menjalankan ibadah-ibadahnya.. dan bla-bla. Kataku panjang lebar ke dia. Dia bilang gak masalah. Kalo memang itu baik buatku (maksudnya buat dia) nanti kenapa
tidak? Singkat cerita dengan banyak pertimbangan akhirnya aku yang mundur. Dia sempat marah sama aku, bilang macam-macam. Aku ngerti perasaannya, bahkan menurut cerita temannya yang aku kenal, dia sudah bercita-cita mau buatkan usaha untukku andai aku berhenti dari kerjaan dan menikah dengannya. Tapi apa boleh buat, aku merasa ada yang kurang “klik”
dengannya. Meski cara pandangnya tentang kehidupan ini bagus, tapi ada hal yang paling mendasar yang sulit ku dispensasi.
Setelah marahnya redah aku jelaskan semua ke dia. Dia mengerti dan menerima alasanku. Kami pun tetap baik-baik saja hingga hari ini dengan kehidupan kami masing-masing.
Setelah marahnya redah aku jelaskan semua ke dia. Dia mengerti dan menerima alasanku. Kami pun tetap baik-baik saja hingga hari ini dengan kehidupan kami masing-masing.
Satu orang yang lain cuma selintas saja karena kejar target menikah. Dianya menentukan waktu harus dapat jawaban dariku, sedangkan aku belum ditanyain mau atau gak? Waktu yang telah ditentukan datang aku tidak memberi jawaban apa-apa karena ada hal yang aku kurang respek darinya. Berlalu begitu saja...
Dalam perjalanan hidupku dari usia remaja hingga
dewasa ada 4 pria turunan Chinese yang pernah naksir/dekat denganku. Semuanya
tidak berujung ke pelaminan (setidaknya hingga saat aku menulis cerita ini. Gak tau kelak kemudian hari). Sejujurnya hanya satu dari keempat orang itu yang
mengena di hati, cuma (lagi-lagi) kayaknya susah diwujudkan. The one and only sebut saja Gentong. Sssttt...!!! Hahaha…
Begitulah sekilas cerita selingan tempo dulu tentang aku dan teman-teman Chinese-ku.
Begitulah sekilas cerita selingan tempo dulu tentang aku dan teman-teman Chinese-ku.
Mungkin kalo dirunut dari atas nenek moyang aku
ini ada keturunan ras Mongoloid-nya kali ya? Mungkiiin.., mungkin saja. Hehee…
Kamis, September 13, 2018
Judule Opo Yo..?
Diary dear..,
Mengurus turun waris memang tidak mudah. Ada saja
yang kurang lengkap ada saja yang ngeyel. Harus ini itu dan menunggu. Apalagi
rumah yang kutempati surat tanahnya masih bentuk Model D. Surat tanah model
seperti ini sah dan sudah tercatat/terdaftar di Agraria setempat. Sejarahnya
apa aku kurang mengerti kenapa surat tanah di DIY dan sebagian wilayah
Indonesia (kalo gak salah) masih ada yang bentuk Model D. Bahkan ada yang
letter C segala. Monggo silahkan googling kalo pingin tahu. Hehehe…
Untuk menaikkan menjadi sertipikat harus konversi
dulu istilahnya. Setelah dikonversi baru jadi sertipikat tanahnya (sekalian
turun waris dan ganti nama apabila itu warisan).
Sudah 2x aku mondar mandir ke Jawa Timur (salah
satu kota di sini) mengurus akta kematian orang tua dan membuat surat
keterangan ahli waris dan sebagainya. Sempat tersendat karena pihak kelurahan
sana tidak mau menandatangani berkas karena kakak dan salah satu adikku belum
tanda tangan. Harus dihadapan lurahnya atau diberi solusi saat penanda tanganan
berkas oleh kakak dan adikku (bila mereka tidak bisa hadir di sana) aku harus
membuat dokumentasi foto saat mereka tanda tangan berkas dan dicetak. Aku
pulang ke Jogja lagi memenuhi permintaan pihak kelurahan sana. Setelah selesai
memenuhi kekurangan syarat dan berkas aku kembali lagi ke Jawa Timur. Balik
lagi ke kelurahan sana untuk meminta tanda tangan pak lurah kemudian ke
kecamatan. Nyaris ada lagi yang dipermasalahkan oleh pegawai kelurahan sana karena
jarak tanggal pembuatan SKW dan lainnya agak berjauhan waktunya. Tetapi
syukurlah pak lurahnya meng-acc dan tidak mempermasalahkan. Kemudian setelah
itu aku ke kecamatan setempat diantar oleh saudara sepupuku.
Selesai dari sana aku langsung pulang. Mempersiapkan
kelengkapan berkas untuk dilanjutkan minta tanda tangan tetangga kiri kanan,
depan belakang. Ijin RT, RW dan dukuh. Lagi… pak dukuhnya sedikit rewel yang
katanya surat kerelaan tidak menerima warisan dari kakak dan adikku harus
ditanda tangani kelurahan dan kecamatan setempat (sesuai KTP kakak dan adik
tinggal). Wah, masa’ kudu ke Semarang dan Bekasi minta tanda tangan dan cap
kelurahan dan kecamatan sana? Membayangkan wira wirinya aku udah mulai kesal.
Aku cerita pada Nathan, temanku yang bekerja di kantor notaris. Dia bilang mungkin
dukuhnya ngerti tanah daerah rumahku nilai ekonominya tinggi, jadi dia “nyari-nyari”,
katanya. Nathan pun bilang surat kerelaan itu ditanda tangani dan dicap oleh
kelurahan dan kecamatan dimana obyek tanah berada. Bukan berdasarkan KTP tinggal
saudara. Itu orang BPN sendiri yang bilang, sambung Nathan.
Aku balik lagi ngeyel sama pak dukuhnya, bahwa…
untuk surat kerelaan tidak menerima… itu ditanda tangani kelurahan dan
kecamatan dimana obyek tanah berada. Ini kata orang BPN, kataku. Dianya masih
ngeyel, katanya mau ditanyakan dulu ke kelurahan dan BPN. Monggo saja pak,
kataku. Aku pulang dengan tangan hampa. Kesal bercampur kecewa. Keesokan
harinya aku ke kantor BPN minta dibuatkan memo agar pak dukuh mau percaya apa
yang sudah aku bilang dan sekaligus dia percaya bahwa aku sudah ke kantor BPN
untuk menanyakan hal itu.
Pagi aku ke kantor BPN setempat, ketemu pegawai BPN
bagian informasi lalu aku ceritakan masalahku. Pegawai bagian informasi tersebut
mempertemukan aku dengan bapak yang biasa mengurusi berkas-berkas turun waris
di BPN. Alhamdulillah memo aku dapat darinya dan dia berpesan kalo ada masalah
lagi orangnya suruh tanya langsung ke beliau. Siap pak, matur nuwun atas
pertolongannya, kataku.
Dengan membawa memo dari BPN, Sabtu kemarin aku 3x
bolak balik ke rumah pak dukuh. Sayangnya beliau tidak ada di rumah terpaksa
Minggu pagi aku ke rumahnya lagi,
akhirnya bertemu pak dukuh dan kusodorkan berkasku dan memo dari BPN. Pak dukuh
membaca memo tersebut dan langsung menanda tangani berkasku. Nah begitu..,
kataku dalam hati. Alhamdulillah satu rintangan sudah teratasi.
Sekarang berkas sudah disahkan oleh kelurahan dan
kecamatan. Eh… ada saja yang kurang. Ternyata petikan letter C dan djeneng yang
harusnya dikeluarkan oleh kelurahan belum diberikan. Terpaksa lagi aku harus
balik ke kelurahan meminta itu. Eh lha dalah… sampai di kelurahan pihak yang
mengurusi urusan warisan tidak bisa diganggu karena sedang ada pemeriksaan
keuangan desa oleh inspektorat. Memang harus sabar… sabar menunggu. Setelah
dapat petikan letter C dan djeneng dari kelurahan kemudian ke kantor pajak untuk
laporan pajak waris. Berlanjut ke BPN mendaftarkan berkas, lalu kemudian
menunggu pengukuran ulang tanah (obyek waris) oleh pihak BPN, dst dst.
Proses konversi ini memang cukup lama, memakan waktu sekitar 6 bulan (paling cepat) hingga 8
bulan sampai jadi sertipikat tanah sekaligus ganti nama keahli waris.
Kenapa tidak diurus saat orang tua masih ada?
Begitu pertanyaan dari saudara atau teman yang mencoba mengulik kenapa aku baru
sekarang mengurus semua ini. Aku jawab, karena waktu bapak atau ibuku masih
ada/hidup mereka belum pernah secara langsung memintaku mengurus tanah + rumah
itu dibalik nama atas namaku. Masa’ iya aku mau menyodor-nyodorkan diri meminta
pada mereka agar tanah + rumah yang kutinggali itu dibalik namaku? Gak etis dan
gak sopan kan..?! Walau secara lisan mereka sudah mengatakan kepadaku dan
saudara-saudaraku (kakak, adik-adik dan lainnya) bahwa rumah yang kutempati itu
diberikan kepadaku. Sekarang setelah kedua orang tuaku telah tiada, kakak
menyuruhku segera mengurus balik nama (turun waris) tanah dan rumah itu.
Awal mula semua kulakukan sendiri karena kupikir
lewat notaris akan sama saja aku harus turun kebawah untuk urusan RT, RW, Dukuh
kemudian kelurahan karena menurut informasi pihak kelurahan sini tidak mau
pihak ketiga yang mengurus, harus ahli warisnya atau salah satu dari ahli
waris. Belum lagi mengurus akta kematian orang tua ke Jawa Timur karena KTP orang
tua dari sana, dan juga urusan pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKW),
Pernyataan Ahli Waris dan surat-surat lain sebagainya sebagai kelengkapan
dokumen pendukung, ahli waris harus datang sendiri ke kelurahan sana (Jawa
Timur). Tanda tangan di depan pak lurahn dst.
Jujur saja, yang paling njelimet adalah meminta
tanda tangan dan cap. Ini yang buat aku wira wiri.
Dalam mengurus konversi dan turun waris ini aku dibantu oleh Nathan (Jonathan) seorang teman yang bekerja di notaris,
sudah kuceritakan diatas ya. Aku banyak bertanya padanya, segala macam prosedur
dan apa saja yang harus dilengkapi.
Dari pengalaman yang aku peroleh selama ini
ternyata kebijakan instansi satu dan yang lainnya ada perbedaan. Ada yang ketat
pada peraturan, ada yang sedikit longgar. Tergantung kebijakan masing-masing.
Semoga lancar, tidak ada masalah lagi dan cepat
selesai dengan baik. Aamiin ya Allah…
Rabu, September 05, 2018
Kapan Nikah?
Bagi yang masih jomblo sering ditanyain kapan nikah? Itu terjadi padaku beberapa tahun lalu. Sampai-sampai aku paling tidak suka ikut acara keluarga termasuk saat Lebaran berkunjung ke rumah saudara yang hampir pasti menerima pertanyaan "sulit itu". Aku lebih suka tidak ikut acara kumpul-kumpul, entah itu kumpul keluarga, kumpul bareng teman-teman. Aku sering absen acara reuni ini itu karena aku menghindari pertanyaan-pertanyaan menyebalkan itu. Aku lebih menarik diri dari dunia kumpul-kumpul, lebih suka menyendiri di rumah atau bepergian sendiri.
Sekarang pertanyaan "kapan nikah" sudah jarang kudengar lagi, meski satu dua orang masih ada yang menanyakannya. Barangkali mereka bosan atau mereka akhirnya mau mengerti aku.
Sekarang pertanyaan "kapan nikah" sudah jarang kudengar lagi, meski satu dua orang masih ada yang menanyakannya. Barangkali mereka bosan atau mereka akhirnya mau mengerti aku.
Bagi jomblo seperti aku usia menikah sudah melewati batas walau sebagian orang masih pantang menyerah mengejar jodoh. Hak mereka bagi yang masih rajin mengejar jodoh dan menjadi hakku dan sebagian orang yang akhirnya mengikhlaskan keadaan menjomblo sampai saat ini. Artinya kita sudah tidak target lagi urusan jodoh, tidak mengejar dan tidak menolak andai suatu saat jodoh datang. Dalam doaku sehari-hari pun urusan jodoh tidak menjadi prioritas lagi. Aku sudah cukup lama tidak berdoa minta jodoh. Lebih menyerahkan segalanya pada yang Maha Kuasa daripada meratapi keadaan. Apakah aku sudah bosan berdoa meminta jodoh..? Entahlah. Yang pasti aku tidak pernah bosan meminta/berdoa untuk urusan lainnya. Aku tetap bersandar pada Allah yang mempunyai kehidupan ini.
Kalo ada yang masih terus bertanya, "kapan nikah" itu tandanya mereka tidak mau mengerti kita yang jomblo atau sekedar pertanyaan basa basi. Menghadapi orang seperti ini kita yang harus berusaha membuat mereka mengerti dengan cara menjelaskan apa yang menjadi tujuan hidup kita atau menjelaskan mengapa kita sampai sekarang belum menikah/tidak ingin menikah.
Hal yang perlu diingat bagi yang jomblo (termasuk aku) adalah: menikahlah karena keinginan sendiri dan atau karena sudah siap untuk menikah, bukan karena tekanan dari pertanyaan "kapan nikah?".
Pernikahan itu kita yang jalani. Ketika masalah muncul dalam rumah tangga, kitalah yang akan merasakan. Bukan saudara, teman, ataupun tetangga.
Jadi, berhentilah wahai orang-orang yang suka menanyakan "kapan nikah?". Sungguh itu pertanyaan yang sangat membosankan bagi kami yang belum menikah.
Langganan:
Postingan (Atom)