Sabtu, Februari 13, 2010

Saat Tuhan Menjadi Pihak Ketiga Cinta Kami

Hehehe… ini kisah lamaku waktu SMA dulu. Berbagi cerita sekaligus bernostalgia. Suit, suiiitt…!! Plok, plok, plok…!! (Norak banget kamu Lel !)

Cerita itu dimulai saat aku kelas tiga. Dia cowok yang duduk di kelas 3A3-1 sedangkan aku di kelas 3A3-4. Diawali oleh seorang teman yang menyampaikan kabar bahwa aku mendapat salam dari cowok tersebut. Kemudian berlanjut aku melirik ke dia, dan… eit! Cakep juga orangnya pikirku waktu itu. Aku tersenyum dan diapun tersenyum saat kami sama-sama beradu pandang. Ehem..! Malu plus berbunga-bunga. Hahaha.., gaya jatuh cinta tahun 80-an nih. Hihi…,
Setelah itu kami pun sering ngobrol lewat telepon sepulang dari sekolah. Dilanjut menulis surat yang kami alamatkan ke sekolah atau rumah. Sengaja kami lakukan hal itu karena kami sama-sama tidak mau ketahuan oleh teman-teman. Dirahasiakan! Top secret!
Seneng sih bisa bertukar cerita walau kami satu sekolah. Ada aja yang jadi bahan obrolan di telepon atau di surat. Malam minggu dia tidak pernah apel ke rumah, karena gaya pacaran kami memang beda.
Aku belum pernah main ke rumahnya, hanya seliwar seliwer di depan rumahnya aja kalo aku kangen ma dia. Dia-pun baru sekali main ke rumahku. Aku pernah jalan bareng ma dia satu kali selama kami dekat.
Sampai tiba waktunya ujian nasional, saat itulah mulai ada perasaanku bakal pisah ma dia. Tapi aku cuek saja, waktu yang tinggal sebentar itu kumanfaatkan sesering mungkin aku ngobrol ma dia (telepon, surat). Dan entah karena kebetulan atau karena faktor cinta kami, nomor ujian nasional kami berurutan. Aku nomor 200, dia nomor 201. Hihi… seneng banget bisa satu kelas dan duduk berdekatan ma dia. Padahal kursi yang kami duduki itu kursi panas. Kursi ujian nasional..!! Huuaaaa…, ngeri ma pengawasnya!

Selesai ujian kegiatan sekolah mulai berkurang. Tinggal tunggu hasil ujian dan penerimaan ijasah SMA. Lulus! Kemudian kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Aku ke Jogja, dia ke Bandung. Hubungan kami semakin ga jelas. Karena pada dasarnya diantara kami ada perbedaan yang besar. Apalagi kalo bukan masalah religi. Selain itu dia keturunan Cina sedangkan aku pribumi (asli) keturunan Jawa.
Secara pribadi aku tidak mempersoalkan faktor keturunan itu. Dia-pun dulu pernah bilang tidak juga mempersoalkan faktor keturunan kami yang berbeda. Tapi aku tidak tahu keluarganya mempersoalkan atau tidak bila tidak satu kaum dengan mereka? Konon sih, ada sebagian warga Tionghoa mewajibkan keluarga atau keturunannya harus menikah sesama kaum Cina-nya. Bahkan bergaulpun mereka satu “merk”, wajah oriental, kulit putih, mata sipit. Ga kayak aku bergaul ma siapa saja oke! Hehehe…
Tapi jangan salah juga, ada orang Cina yang mau bergabung ma kita-kita orang pribumi koq. Buktinya ada empat pria Cina yang mau sama aku. Hahaha…. Ge-er banget aku ya?

Kembali lagi ke cerita tadi.
Sebut saja nama dia Ming (bukan Kaisar Ming, lho!). Hubungan aku dan Ming berlanjut dengan surat-suratan. Setelah aku dan Ming pisah kota, Ming pernah menelponku di kampus, aku juga pernah menelponnya di kost dia. Ngobrolnya cepet-cepet takut pulsa habis banyak. Kan anak kuliahan, duitnya terbatas. Hihihi… Lucu sih, kami masih berkangen kangenan kayak waktu SMA dulu. Kami mulai berani bercerita tentang gebetan baru kami masing-masing. Dan kami tidak saling cemburu, karena kami sudah menyadari akan ganjalan yang ada diantara kami.
Waktu liburan aku pernah main ke Bandung. Dia jemput aku, dan kami jalan-jalan keliling kota Bandung. Bener-bener dia masih care ma aku dan tetap menjaga aku. Secuilpun dia tidak pernah berbuat kurang ajar terhadapku selama kita pacaran.

Perjalanan cinta “segitiga” antara aku, Ming dan Tuhan kami yang dikatakan sebagai sutradara adalah salah satu bagian dari kehidupan yang menimpa anak muda seperti kami saat itu dan pasangan muda-mudi lainnya. Kami yang masih muda, enerjik, penuh cita-cita, dan masih menjunjung pola pikir orang tua harus mengorbankan cinta kami demi menjaga dan memelihara adat istiadat, agama kami masing-masing. Kami tidak bisa berkompromi dalam satu hal yaitu “Agama”.
Tuhan mencintai aku dan Ming. Begitupun kami sebaliknya, mencintai DIA. Kami tidak bisa bersatu karena kami memanggil Tuhan dengan nama yang berbeda.

Ahh… jadi ingat lagunya Afgan, Bukan Cinta Biasa. Cintaku bukanlah cinta biasa…, jika kamu yang memiliki…dst. Sayang aku tidak bisa mendampingi dia dalam kehidupan ini. Hanya diluar area saja ya Ming? Hehehe…
Kamu dimana sekarang Ming?