Senin, Februari 21, 2011

Kondangan Dan Film Hollywood

Intermezzo :
Pergi kondangan kemarin siang. Waktunya dandan ribet dan siap-siap jawab pertanyaan yang itu-itu saja. Kenapa? Apalagi kalo bukan pertanyaan : "Kapan nih?" - Maksudnya, kapan undangannya? Yang berarti, kapan aku menikah?
Sejujurnya aku malas pergi kondangan. Malas dengan basa-basi bila bertemu orang yang menanyakan seperti yang kukatakan diatas. Tapi apa mau dikata, undangan kemarin dari seorang teman. Tidak datang ga enak. Ntar kalo ketemuan pasti nanyain, "koq ga datang waktu nikahanku?"
Begitulah, akhirnya aku melangkahkan kaki pergi memenuhi undangan temanku itu. Benar saja, ketika aku bertemu teman di sana mereka menanyakan hal itu. Jawaban yang sudah ada di kepala kukeluarkan. "Tunggu aja, tinggal tulis nama mempelai laki-lakinya diundangannya", jawabku santai sambil tersenyum...
------ tanggal 24 Februari 2011, undangan upacara pengukuhan kakak sepupu sebagai Guru Besar UGM - Fakultas Teknik (Tek. Sipil), di Balai Senat UGM, gedung pusat UGM, sayap utara lantai 2 - UGM. Semoga aku dapat menghadiri acara tersebut.

Daaag.... Hollywood !!

Ribut-ribut ngomongin Hollywood mau boikot Indonesia dari import film-nya. Kenapa takut? Kenapa harus ngomel-ngomel? Emang bisa mati kalo ga nonton film dari sana? Udah saatnya kita punya sikap atas arogansi Hollywood selama ini. Kita telah didikte, diatur oleh mereka! Kesenjangan antara industri film dalam negeri yang tidak imbang. Pajak industri film dalam negeri lebih besar dibanding pajak film Hollywood / film import.



Inilah penyebab pemerintah menaikkan pajak impor film :

Pajak film impor lebih murah daripada pajak film nasional. Pajak impor cuma dibebani per satu kopi film, yakni Rp 1 juta per kopi. Rata-rata film impor menyetor lebih kurang Rp 15 juta per judul untuk 15 kopi film. Dalam 12 tahun terakhir, film asing yang diimpor rata-rata 180 judul dengan total kopi sekitar 2.500 kopi sehingga rata-rata hanya 15 kopi per judul.

Sementara itu, film nasional harus membayar pajak untuk beberapa hal, mulai dari bahan baku, peralatan produksi, pajak atas artis, karyawan, pajak saat proses produksi, pajak pasca-produksi, dan untuk penggandaan kopi film. Jadi, jika dihitung, maka produser film nasional harus menyiapkan 10 persen lebih untuk pajak. Film seperti Laskar Pelangi atau Ayat-Ayat Cinta yang biaya produksinya Rp 5 miliar harus mengeluarkan pajak senilai Rp 500 juta.

Di Thailand, pajak film menggunakan sistem per meter panjang film tersebut. Angkanya 1 dollar AS per meter. Rata-rata setiap kopi film impor mengeluarkan 3.000 dollar AS per kopi atau lebih kurang Rp 30 juta. Itu artinya 30 kali lipat lebih besar dari pajak yang dipungut oleh Pemerintah Indonesia.

So..., sadarlah!! Jangan cengeng hanya karena Hollywood ga ngedarin filmnya di sini.