Rabu, Mei 13, 2015

Jogja, Wajahmu Kini




Kesederhanaan Jogja perlahan semakin terkikis dengan bertambahnya mall-mall yang semakin menjamur dibeberapa belahan kota. Tidak bermaksud menolak pembangunan bisnis, tapi mall-mall yang ditanam oleh para pengembang raksasa ini perlahan-lahan merubah wajah kota yang sederhana menjadi sebuah kota yang hedonis. Kota yang tidak begitu besar ini sudah ditumbuhi enam mall yang sudah beroperasional, dari skala mall kecil, menengah dan besar (untuk ukuran Jogja). Masih ada enam mall lagi yang akan dibuka pada tahun ini hingga tahun 2018.
Bulan Mei ini mall baru kabarnya siap menyusul beroperasional di kawasan ring road utara. Menurut promosi yang digembar gemborkan (katanya) terbesar di Jogja bahkan Jawa Tengah. Yang menjadi pertanyaan saya dalam hati, siapakah yang akan berbelanja tiap hari di pusat belanja modern ini? Dari amatan saya sewaktu jalan-jalan di mall, kebanyakan pengunjung hanya sight seeing, window shopping alias cuma lihat-lihat saja. Apa lama-lama gak bangkrut tuh mall?
Jogja istimewa, begitu tagline yang baru saja diluncurkan beberapa waktu lalu. Kalo sudah begini apanya lagi yang istimewa? Mall, hotel, papan reklame dimana-mana membuat pemandangan Jogja semakin aneh dimataku.
Hotel-hotel tumbuh bak jamur dimusim hujan. Banyak banget! Saya gak tau pasti jumlahnya ada berapa? Tingkat hunian tinggi hanya waktu tertentu saja, saat liburan sekolah atau liburan hari raya. Kenapa tidak diperbanyak pusat kebudayaan, tempat rekreasi, buat taman kota yang indah dan asri yang bisa dijadikan tempat bersantai warga Jogja. Tempat-tempat wisata yang sudah ada hendaknya dipelihara. Jangan cuma senang didatangi tetapi tidak dirawat. Nantinya orang akan malas untuk kembali lagi ke situ.
Kawasan Malioboro dibenahi, ditertibkan, dibersihkan dan dirapikan agar lebih aman, nyaman lagi bagi orang-orang yang jalan-jalan kesana. Bila perlu jadikan Malioboro kawasan pejalan kaki (kendaraan dilarang melintas disana). Buat kafe-kafe jalanan sepanjang Malioboro. Kan asik tuh, kalo kita capek jalan-jalan bisa langsung duduk santai di kafe jalanan sambil menikmati suasana Jogja sembari mencicipi jajanan atau minuman yang dijual.
Sejujurnya, eksploitasi Jogja yang berlebihan ini membuat saya sebagai warga Jogja bertanya dalam hati, benarkah Jogja tak lagi istimewa sebagai kota yang sederhana? Apakah wajah Jogja yang “lugu” masih ada? Ataukah saya salah masih mengharapkan kota sederhana seperti dulu ditengah gempuran kemajuan jaman?