Kesederhanaan
Jogja perlahan semakin terkikis dengan bertambahnya mall-mall yang semakin
menjamur dibeberapa belahan kota. Tidak bermaksud menolak pembangunan bisnis,
tapi mall-mall yang ditanam oleh para pengembang raksasa ini perlahan-lahan merubah
wajah kota yang sederhana menjadi sebuah kota yang hedonis. Kota yang tidak
begitu besar ini sudah ditumbuhi enam mall yang sudah beroperasional, dari
skala mall kecil, menengah dan besar (untuk ukuran Jogja). Masih ada enam mall
lagi yang akan dibuka pada tahun ini hingga tahun 2018.
Bulan Mei ini mall
baru kabarnya siap menyusul beroperasional di kawasan ring road utara. Menurut
promosi yang digembar gemborkan (katanya) terbesar di Jogja bahkan Jawa Tengah.
Yang menjadi pertanyaan saya dalam hati, siapakah yang akan berbelanja tiap
hari di pusat belanja modern ini? Dari amatan saya sewaktu jalan-jalan di mall,
kebanyakan pengunjung hanya sight seeing, window shopping alias cuma
lihat-lihat saja. Apa lama-lama gak bangkrut tuh mall?
Jogja
istimewa, begitu tagline yang baru saja diluncurkan beberapa waktu lalu. Kalo
sudah begini apanya lagi yang istimewa? Mall, hotel, papan reklame dimana-mana
membuat pemandangan Jogja semakin aneh dimataku.
Hotel-hotel
tumbuh bak jamur dimusim hujan. Banyak banget! Saya gak tau pasti jumlahnya ada
berapa? Tingkat hunian tinggi hanya waktu tertentu saja, saat liburan sekolah
atau liburan hari raya. Kenapa tidak diperbanyak pusat kebudayaan, tempat
rekreasi, buat taman kota yang indah dan asri yang bisa dijadikan tempat
bersantai warga Jogja. Tempat-tempat wisata yang sudah ada hendaknya
dipelihara. Jangan cuma senang didatangi tetapi tidak dirawat. Nantinya orang
akan malas untuk kembali lagi ke situ.
Kawasan
Malioboro dibenahi, ditertibkan, dibersihkan dan dirapikan agar lebih aman, nyaman lagi
bagi orang-orang yang jalan-jalan kesana. Bila perlu jadikan Malioboro kawasan
pejalan kaki (kendaraan dilarang melintas disana). Buat kafe-kafe jalanan
sepanjang Malioboro. Kan asik tuh, kalo kita capek jalan-jalan bisa langsung
duduk santai di kafe jalanan sambil menikmati suasana Jogja sembari mencicipi jajanan
atau minuman yang dijual.
Sejujurnya,
eksploitasi Jogja yang berlebihan ini membuat saya sebagai warga Jogja bertanya
dalam hati, benarkah Jogja tak lagi istimewa sebagai kota yang sederhana? Apakah
wajah Jogja yang “lugu” masih ada? Ataukah saya salah masih mengharapkan kota
sederhana seperti dulu ditengah gempuran kemajuan jaman?