Jumat, Maret 06, 2009

Tia : Suamiku Bertingkah

Dia wanita enerjik teman main sewaktu aku masih kuliah dulu tiba-tiba nongol di rumah. Tumben kubilang padanya. Setelah sekian lama ga pernah nongol sekarang sudah ada dihadapanku sore itu. Aku belum ganti pakaian kerjaku saat dia datang ke rumah.
“Apakabarnya Lel”, katanya. “Baik”, jawabku.
“Kemana aja selama ini ga ada kabarnya. Masih bolak balik Jogja - Jakarta kan?” Tanyaku kemudian sambil mempersilakan dia duduk. Dengan santai dia duduk sambil melepas penat di wajah lalu dia menjawab, “aku ga kemana-mana, ada di sini aja. Paling-paling bolak balik seperti ini dan keluar kota untuk urusan kerjaan”. Anak-anak juga ada di Jakarta. Aku sudah mencoba untuk berhenti dari pekerjaanku tapi Denny tidak mengijinkan. Sayang katanya kalo aku harus melepas pekerjaan ini. Aku juga sudah mencoba mengajukan ke perusahaan agar aku ditempatkan di Jakarta saja, di officenya. Pihak perusahaan sudah menyetujui tapi sedang dicarikan tempat buatku dan menunggu penggantiku untuk ngurusi pekerjaanku sekarang.

Setelah ngobrol kira-kira 15 menit aku masuk untuk membuatkan teh manis buat Tia sekalian aku ganti baju dengan baju rumahan. Makanan kecil yang memang sudah ada di meja tamu kupersilakan untuk dimakan sambil menunggu teh yang sedang kubuat.
“Lel, kenapa kamu masih aja seperti dulu? Ga ada niatkah kamu merubah semua ini?” Apa betah kamu dengan semua ini?” Cerocos Tia seolah-olah dia ingin mengorek hal pribadiku. Kukatakan ke dia, “ ga masalah dengan kehidupanku ini Tia. Aku merasa enjoy saja. Yang penting niat kita hidup baik, Insya Allah Tuhan pasti memberi yang terbaik buat kita. Yaahh…. Kadang-kadang sih aku merasa boring juga dengan keseharianku yang monoton ini. Tapi apa mau dikata, aku memang seperti ini.
Memangnya ada apa tumben-tumbennya kamu nanya begitu ke aku? Kataku balik bertanya ke dia. “Ahh… ga ada Lel. Enak aja lihat kamu, sepertinya tidak ada masalah dalam hidupmu.” Celoteh Tia sambil makan snack yang ada. “Ga mungkin aku ga punya masalah Tia. Kan setiap yang hidup pasti punya masalah walaupun masalahnya kecil” kataku kemudian ke dia.
“Hmmm…. Lel, aku mau cerai dari suamiku. Semakin hari dia semakin ga karuan tingkah lakunya. Aku sudah coba untuk bertahan dengan segala kesabaran dan pengertianku terhadapnya, tapi dia ga mau tahu pengorbananku selama ini. Aku selalu dipojokan dengan segala tuduhan-tuduhan yang ga masuk akal yang jelas-jelas tidak aku lakukan. Sudah lama aku bertahan hidup dalam kemunafikannya. Sudah 3 tahun Lel semua ini kupendam! Tapi apa yang kudapat? Suamiku semakin menjadi-jadi kegilaannya. Sering pulang pagi dan setiap kutanya (saat aku di Jakarta) dia selalu menjawab, bukan urusanku. Kebiasaan buruknya yang suka main tangan terhadapku, membuatku muak untuk meneruskan hidup bersamanya! Uang yang didapat sering digunakan untuk berfoya-foya. Klise ceritaku ya Lel? Tapi itulah yang terjadi sekarang dalam kehidupan rumah tanggaku.
Aku menarik napas panjang sambil menatap wajah Tia yang kuyu. Terlihat kelelahan di matanya. Mata yang sembab, mata yang sering menangis karena persoalan hidupnya.
“Tia, bersabarlah…. Tuhan tidak akan mencoba umatNya diluar batas kemampuannya. Kamu pasti bisa menyelesaikan semua ini.” Kataku memberi semangat padanya.
Kemudian kami masuk ke ruang tengah sambil menonton tv. Kebetulan acara berita sore di salah satu tv swasta. Berita yang sedang marak tentang Ponari si dukun cilik dari Jombang.
Lalu Tia mulai bercerita lagi.
“Ahh…. Andai saja aku dulu tidak ceroboh memilih dia sebagai suamiku, mungkin aku tidak akan mengalami masalah ini. Arya teman kita dulu sebetulnya dia mau juga sama aku Lel. Tapi aku bodoh lebih memilih Denny yang kupikir bisa membahagiakanku. Denny dulu begitu menggebu-gebu mengejarku. Selain itu, Denny waktu itu sudah bekerja sebagai wakil pimpinan di perusahaan ternama di Jakarta. Sedangkan Arya waktu itu baru menjadi pegawai kontrakan di sebuah bank swasta. Tapi sekarang keadaan berubah, Arya sudah menjadi direktur bank dengan reputasi baik. Seorang suami dan bapak yang baik dan bertanggung jawab, sedangkan Denny walaupun sudah menjadi seorang pimpinan tapi diluar itu sepak terjangnya sangat menyakitkan bagiku dan anak-anak.” Cerita Tia sedikit meninggi.

Gema adzan maghrib berkumandang, sejenak kami menghentikan obrolan. Kuajak Tia sholat maghrib berjamaah. Setelah selesai sholat kami melanjutkan obrolan.
Kenapa sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga? Adilkah ini bagi seorang perempuan, bagi seorang istri?
“Tia, kita makan yuk.” Ajakku kepada Tia yang sedang menikmati acara tv sambil sesekali dia bercerita. “Ntar dulu Lel, aku belum lapar. Gampanglah nanti kalo udah lapar aku makan. Di depan ada yang jual makanan kan…., atau kita tunggu yang lewat aja.” Kata Tia menolak ajakanku. Oke…, aku ga salah lho. Aku udah nawarin kamu makan. Jangan bilang kalo aku ga nyuguhin kamu makan. Gurauku pada Tia yang disambut dengan sunggingan senyum manisnya.
Persoalan kita memang beda Tia. Tapi saat ini aku sedang kesal sama salah seorang temanku, teman dekat yang kupikir dia mensuportku. Dia “menusuk”ku dari belakang dengan perkataannya yang bikin aku naik darah. Masa’ dia bilang ke teman lain aku ini ga asik diajak bicara karena berpikiran mentok. Kalo hanya untuk pacaran saja ga apa-apa tapi ga bagus untuk diseriusin apalagi untuk dinikahi. Bah…!! Teman macam apa dia. Aku mau pacaran sama siapa kek, nikah sama siapa kek itu urusanku. Apa urusan dia ngomong seperti itu? Jahat sekali omongan dia itu. Ga sepantasnya dia bicara seperti itu pada temanku yang lain. Aku sempat tersinggung mendengar semua itu, tapi aku menahan diri supaya tidak ambil pusing omongannya. Ehh…. Selidik punya selidik kata teman nih, rupanya dia sedikit cemburu. Maklum, jaman dulu dia pernah naksir aku tapi ga pernah kutanggapi. Jadi dia ga rela kalo aku menemukan belahan jiwaku. Hehehe….. Itulah teman Tia, kadang membuat kita bahagia memilikinya, kadang membuat kita meradang dibuatnya. Yah itulah hidup, kata orang.

Malam beranjak makin larut, tapi Tia tidak beranjak dari tempat duduknya. Kami memesan nasi goreng yang lewat, setelah itu kami menyantapnya dengan lahap karena kami sama-sama lapar. Enak sekali nasi goreng pak kribo walaupun sederhana tapi terasa nikmat. Karena itulah aku jadi salah satu pelanggannya.
Perut kenyang…., mata tak mau ngantuk jua. Kami tetap bercerita sambil sekali-kali nonton acara tv. Tia yang malam itu menginap di rumah kupinjamkan baju dasterku agar dia bisa ganti pakaiannya. Obrolan kami lanjutkan di kamar tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Diluar kesadaraan kami sama-sama tertidur pulas hingga pagi datang. Untunglah hari esoknya Minggu jadi bisa santai bermalas-malasan di rumah. Tia beranjak dari tempat tidur kemudian kami sholat subuh bareng, kemudian Tia buru-buru mencuci bajunya yang kemarin dipakai supaya nanti dia bisa pakai kembali.

Hari makin terang, matahari bersinar cerah hari ini. Semoga ini pertanda bagus bagi Tia untuk menelusuri sisa hidupnya yang sedang bergejolak.